(Juara I Lomba Resensi oleh FLP Banjarmasin 2013)
Judul
Buku : Bidadari Bidadari Surga
Penulis : Tere-Liye
Penerbit : Republika
Tahun : Juni 2008
Tebal : 365 halaman.
ISBN : 978-979-1102-26-1
Penulis : Tere-Liye
Penerbit : Republika
Tahun : Juni 2008
Tebal : 365 halaman.
ISBN : 978-979-1102-26-1
Tak banyak penulis yang setiap
menerbitkan karya, selalu laris manis di pasaran. Bisa di hitung dengan jari
penulis-penulis yang selalu sukses dengan setiap karyanya dan bahkan meraih
label best seller pada sampul bukunya. Salah satunya adalah Tere-Liye, nama
pena dari seorang lelaki bernama Darwis. Pria yang lahir pada 21 Mei 1979 dan besar di pedalaman Sumatra ini
telah melahirkan 14 buah buku lebih. Kemampuan menulisnya tak usah diragukan
lagi. Dengan kepiawaiannya mengolah kata membuat cerita-cerita yang ditulisnya
menjadi sangat memukau dan menyentuh hati.
Buku-bukunya yang telah beredar antara lain: Kisah Sang
Penandai, Ayahku (bukan) Pembohong, Pukat, Eliana, Burlian, Hafalan Shalat
Delisa, Moga Bunda Disayang Allah, Bidadari-bidadari Surga, Negeri Para
Bedebah, Kau, Aku & Sepucuk Angpao Merah, dan buku-buku lainnya. Bahkan,
beberapa buah bukunya telah di angkat ke layar lebar.
Salah satu novelnya yang telah
difilmkan adalah novel “Bidadari-bidadari Surga” ini. Novel ini mengisahkan
tentang perjuangan dan pengorbanan seorang kakak bernama Laisa. Demi adik-adik
yang di cintainya: Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Ia rela
meninggalkan bangku sekolah dan membantu mamak di ladang agar adik-adiknya bisa
terus mengenyam pendidikan dan kelak menjadi orang yang sukses.
Laisa bukanlah sosok yang sempurna.
Tubuhnya pendek dan gempal. Berambut gimbal serta berwajah jelek sehingga
sangat sulit baginya menemukan pasangan hidup. Walaupun begitu, semua
adik-adiknya juga sangat menyayanginya. Ia menjadi kakak teladan yang selalu
menyemangati adik-adiknya.
Dari bab awal penulis sudah
menyajikan ketegangan dan membuat kita bertanya-tanya. Dengan sebuah adegan
pembuka di mana Laisa sedang sakit parah, sekarat karena kanker paru-paru
stadium IV, dan Mak Lainuri ibu dari kelima tokoh ini meminta izin untuk
mengirimkan pesan singkat pada adik-adiknya karena beliau tidak terbiasa
berbicara lewat telepon.
“Pulanglah. Sakit
kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok
pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tak ada waktu lagi. Anak-anakku,
sebelum semuanya terlambat, pulanglah...”
(hal. 1-3).
Ke empat adik-adiknya yang menerima
SMS itu pun sangat kaget. Mereka rela meninggalkan kesibukan dan ingin segera
pulang ke lembah Lahambay demi menemui Laisa. Dalimunte yang sedang memberikan
simposium science, Ikanuri dan
Wibisana yang sedang pergi ke Roma untuk urusan bisnis spare part, dan Yashinta yang sedang mengadakan penelitian
Alap-alap kawah di gunung Semeru. Mereka bertanya-tanya sakit apa Kak Laisa?
Karena selama ini mereka melihat Kak Laisa baik-baik saja.
Kepiawan penulis dalam membingkai
cerita dengan alur maju-mundur sangat mengesankan. Dalam perjalanan pulang
menuju lembah Lahambay itulah, ke empat tokoh
kembali mengingat masa lalu mereka. Serpihan-serpihan kenangan
bermunculan untuk menggambarkan seperti apa sosok Laisa di mata mereka.
Gambaran penuh betapa pengorbanannya menjadikan Laisa menjadi sosok kakak
teladan.
Laisa yang ternyata bukan kakak
kandung mereka tak pernah pilih kasih dalam memberikan perhatian kepada ke
empat adiknya. Laisa selalu mengajarkan dan mendidik mereka agar selalu kerja
keras, kerja keras, dan kerja keras. Agar bisa menjadi orang sukses nantinya.
Bahkan, demi adik-adiknya Laisa rela
bertaruh nyawa demi menyelamatkan adik-adiknya yang hendak diterkam harimau.
“Mukanya terlihat tegang. Ia sungguh gemetar. Ia sungguh ketakutan. Siapa pula
yang tidak jerih melihat tiga ekor harimau dari jarak dua meter tanpa
penghalang? Tapi perasaan itu, perasaan melindungi adik-adiknya membuat Laisa
menyeruak, nekad masuk ke arena kematian. (hal.125-134).
Laisa tak ingin membuat adik-adiknya
susah. Ia selalu berusaha tak ingin terlihat menangis dan sakit di hadapan mereka.
Laisa tak pernah mau membagi cerita tentang penyakitnya. Kecuali pada Mamak.
Laisa rela menanggung semua deritanya, asal adik-adik tak pernah sedih dan susah.
Kisah sederhana yang menyajikan
hubungan antara kakak adik, anak dan
mamak ini sangat menyentuh. Tak pelak dapat membuat kita terenyuh dan meneteskan
airmata terhanyut akan alur cerita yang akan menuntun kita ke titik akhir. Karakter-karakter
yang kuat pada setiap tokoh dan penggambaran setting yang detail membuat novel
ini begitu nyata dan dekat dengan keseharian.
Novel ini sangat layak dibaca dan direnungkan. Novel ini
seakan mengajarkan tentang arti cinta yang sesungguhnya. Cinta tanpa pamrih dan
ikhlas seorang kakak. Membaca novel ini akan membuat kita tersadar bahwa
orang-orang yang ada di sekitar kita sesungguhnya amat sangat mencintai kita.
Walaupun mereka menunjukkan dengan caranya masing-masing.
0 komentar:
Post a Comment