Wednesday, April 3, 2013

Cinta Tak Terperi Seorang Kakak






(Juara I Lomba Resensi oleh FLP Banjarmasin 2013)
Judul Buku     : Bidadari Bidadari Surga
Penulis            : Tere-Liye
Penerbit          :  Republika
Tahun              : Juni 2008
Tebal               : 365 halaman.
ISBN               : 978-979-1102-26-1

            Tak banyak penulis yang setiap menerbitkan karya, selalu laris manis di pasaran. Bisa di hitung dengan jari penulis-penulis yang selalu sukses dengan setiap karyanya dan bahkan meraih label best seller pada sampul bukunya. Salah satunya adalah Tere-Liye, nama pena dari seorang lelaki bernama Darwis. Pria yang lahir pada  21 Mei 1979 dan besar di pedalaman Sumatra ini telah melahirkan 14 buah buku lebih. Kemampuan menulisnya tak usah diragukan lagi. Dengan kepiawaiannya mengolah kata membuat cerita-cerita yang ditulisnya menjadi sangat memukau dan menyentuh hati.
Buku-bukunya yang telah beredar antara lain: Kisah Sang Penandai, Ayahku (bukan) Pembohong, Pukat, Eliana, Burlian, Hafalan Shalat Delisa, Moga Bunda Disayang Allah, Bidadari-bidadari Surga, Negeri Para Bedebah, Kau, Aku & Sepucuk Angpao Merah, dan buku-buku lainnya. Bahkan, beberapa buah bukunya telah di angkat ke layar lebar.
            Salah satu novelnya yang telah difilmkan adalah novel “Bidadari-bidadari Surga” ini. Novel ini mengisahkan tentang perjuangan dan pengorbanan seorang kakak bernama Laisa. Demi adik-adik yang di cintainya: Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Ia rela meninggalkan bangku sekolah dan membantu mamak di ladang agar adik-adiknya bisa terus mengenyam pendidikan dan kelak menjadi orang yang sukses.
            Laisa bukanlah sosok yang sempurna. Tubuhnya pendek dan gempal. Berambut gimbal serta berwajah jelek sehingga sangat sulit baginya menemukan pasangan hidup. Walaupun begitu, semua adik-adiknya juga sangat menyayanginya. Ia menjadi kakak teladan yang selalu menyemangati adik-adiknya.
            Dari bab awal penulis sudah menyajikan ketegangan dan membuat kita bertanya-tanya. Dengan sebuah adegan pembuka di mana Laisa sedang sakit parah, sekarat karena kanker paru-paru stadium IV, dan Mak Lainuri ibu dari kelima tokoh ini meminta izin untuk mengirimkan pesan singkat pada adik-adiknya karena beliau tidak terbiasa berbicara lewat telepon.
 “Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah...” (hal. 1-3).
            Ke empat adik-adiknya yang menerima SMS itu pun sangat kaget. Mereka rela meninggalkan kesibukan dan ingin segera pulang ke lembah Lahambay demi menemui Laisa. Dalimunte yang sedang memberikan simposium science, Ikanuri dan Wibisana yang sedang pergi ke Roma untuk urusan bisnis spare part, dan Yashinta yang sedang mengadakan penelitian Alap-alap kawah di gunung Semeru. Mereka bertanya-tanya sakit apa Kak Laisa? Karena selama ini mereka melihat Kak Laisa baik-baik saja.
            Kepiawan penulis dalam membingkai cerita dengan alur maju-mundur sangat mengesankan. Dalam perjalanan pulang menuju lembah Lahambay itulah, ke empat tokoh  kembali mengingat masa lalu mereka. Serpihan-serpihan kenangan bermunculan untuk menggambarkan seperti apa sosok Laisa di mata mereka. Gambaran penuh betapa pengorbanannya menjadikan Laisa menjadi sosok kakak teladan.
            Laisa yang ternyata bukan kakak kandung mereka tak pernah pilih kasih dalam memberikan perhatian kepada ke empat adiknya. Laisa selalu mengajarkan dan mendidik mereka agar selalu kerja keras, kerja keras, dan kerja keras. Agar bisa menjadi orang sukses nantinya.
            Bahkan, demi adik-adiknya Laisa rela bertaruh nyawa demi menyelamatkan adik-adiknya yang hendak diterkam harimau. “Mukanya terlihat tegang. Ia sungguh gemetar. Ia sungguh ketakutan. Siapa pula yang tidak jerih melihat tiga ekor harimau dari jarak dua meter tanpa penghalang? Tapi perasaan itu, perasaan melindungi adik-adiknya membuat Laisa menyeruak, nekad masuk ke arena kematian. (hal.125-134).
            Laisa tak ingin membuat adik-adiknya susah. Ia selalu berusaha tak ingin terlihat menangis dan sakit di hadapan mereka. Laisa tak pernah mau membagi cerita tentang penyakitnya. Kecuali pada Mamak. Laisa rela menanggung semua deritanya, asal adik-adik tak pernah sedih dan susah.
            Kisah sederhana yang menyajikan hubungan antara  kakak adik, anak dan mamak ini sangat menyentuh. Tak pelak dapat membuat kita terenyuh dan meneteskan airmata terhanyut akan alur cerita yang akan menuntun kita ke titik akhir. Karakter-karakter yang kuat pada setiap tokoh dan penggambaran setting yang detail membuat novel ini begitu nyata dan dekat dengan keseharian.
Novel ini sangat layak dibaca dan direnungkan. Novel ini seakan mengajarkan tentang arti cinta yang sesungguhnya. Cinta tanpa pamrih dan ikhlas seorang kakak. Membaca novel ini akan membuat kita tersadar bahwa orang-orang yang ada di sekitar kita sesungguhnya amat sangat mencintai kita. Walaupun mereka menunjukkan dengan caranya masing-masing.

Cinta Tak Terperi Seorang Kakak Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Saleh Khana

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.