Tuesday, May 7, 2013

SEWINDU: EPISODE HIDUP SANG JURU DONGENG






Oleh: Muhammad Saleh

Judul Buku     : Sewindu
Penulis            : Tasaro GK
Penerbit          : Metagraf,
Website           : www.tigaserangkai.com
Tahun              : I, Maret 2013.
Tebal               : 382 halaman.
ISBN               : 978-602-9212-78-5

            Tak banyak penulis yang setiap menerbitkan karya, selalu laris manis di pasaran. Bisa di hitung dengan jari penulis-penulis yang selalu sukses dengan setiap karyanya dan bahkan meraih label best seller pada sampul bukunya. Salah satunya adalah Tasaro GK, akronim dari seorang lelaki bernama Taufik Saptoto Rohadi, sedangkan GK adalah tempat kelahirannya, Gunung Kidul.
Pria yang lahir pada  01 September 1980 ini telah melahirkan belasan buah buku lebih. Diantara karyanya adalah: Wandu: Berhenti jadi Pengecut, Samitha, Di Serambi Makkah, Galaksi Kinanthi, Rindu Purnama, Seri Pitaloka, Oh, Achiles!, Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan, Muhammad: Para Pengeja Hujan, Nibiru dan Ksatria Atlantis, Keajaiban Rezeki, dan yang terbaru Sewindu.
Kemampuan menulisnya tak usah diragukan lagi. Dengan kepiawaiannya mengolah kata membuat cerita-cerita yang ditulisnya menjadi sangat memukau dan menyentuh hati pembaca. Sederet penghargaan menulis pun pernah ia raih: Nominasi Anugerah Pembaca 2010 (Galaksi Kinanthi), Runner-Up IBF Award 2009 (Galaksi Kinanthi), Karya Terpuji Pena Award 2009 (Galaksi Kinanthi), Nominasi IBF Award 2008 (Monomo: Mencari Jejak Raksasa), Penulis Terbaik Adikarya IKAPI 2007( Oh, Achilles!), Penulis Terbaik Adikarya IKAPI 2006 (Di Serambi Mekkah), Juara Penulisan Skenario Direktorat Film 2006 (Bubat: Pitaloka Tak Pernah Belapati), Juara Penulisan Cerbung Femina 2006 (Mad Man Show), Penghargaan Penulis Menpora 2006 (Kontes Kecantikan, Legalisasi Kepura-puraan), Novel Terbaik Nasional FLP Award 2005 (Wandu: Berhentilah Jadi Pengecut).
            Bagi para pengagum karyanya ataupun yang penasaran dengan sosoknya, tentu ingin mengenal sosok Tasaro ini lebih jauh. Lewat buku terbarunya, Sewindu terbitan Tiga Serangkai, Solo, Tasaro membagi kisah hidupnya. Tentang perjalanan dirinya hingga bermetamorfosis seperti saat ini.
            Sewindu tampak berbeda dari setiap karya yang diramu apik dalam kisah-kisah fiksinya yang mengandalkan imajinasi. Sewindu bernarasi tentang setiap jengkal episode dan wilayah hidupnya dalam kebersahajaan, kejujuran, bahkan keluguan dan kejenakaannya.
            Buku ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama mengisahkan tentang perjalanan hidupnya ketika memulai biduk rumah tangga dengan seorang gadis bernama Alit Tuti Marta. Waktu awal perkawinannya, Tasaro harus rela berpisah selama beberapa hari dari sang pujaan hati, hanya karena jarak tempat bekerjanya yang jauh. Tasaro bekerja di Bandung sebagai wartawan, sedangkan istrinya tinggal di Cirebon dengan sang ibu. Ia hanya punya waktu dua hari, sabtu dan minggu bersama istri, itupun banyak dihabiskan dengan tidur sampai puas karena terlalu capek dalam perjalanan. (hal 2-8).
            Seluruh kisah-kisah penuh perjuangan dan pengorbanan dalam mengarungi rumah tangga ia tuangkan dalam bagian ini, dari cerita bahagia, senang, sedih, tangis, tawa dan jenaka ia tuturkan dengan gaya  lugas, mengalir, dan santai ala cerpen. Dari mulai cerita hiruk-pikuk kehidupan rumah tangganya, pergulatan dengan dunia tulis-menulis sampai cerita tentang keinginannya belajar mengaji Al-Qur’an dengan benar pada usia yang menurutnya cukup terlambat, 22 tahun.(hal. 103).
 Ada bagian yang cukup menggelitik yang membuat pembaca tersenyum, saat Tasaro dan istrinya berdebat tentang menu masakan untuk besok. Tasaro ingin dimasakkan makanan favoritnya, oseng-oseng daun pepaya, tetapi seketika istrinya cemberut dan menolak karena tak suka dengan menu itu, dan perbincangan pun menjadi buntu. Sehingga pada halaman awal pada buku ini, Tasaro mendedikasikannya tulisannya untuk sang istri “Untuk Alit Tuti Marta: Masih kutunggu oseng-oseng daun pepaya itu...” begitu tulis Tasaro.
Berbeda dengan bagian pertama, pada bagian kedua, Tasaro membagi kisahnya setelah delapan tahun berproses menjadi seorang suami. Tasaro lebih banyak menuturkan tentang kisah orang-orang terdekatnya yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya. Dari cerita tentang ibu, istri, anak, ayah, dan para sahabatnya yang selalu menjadi sumber motivasi dan inspirasinya.
Tasaro juga punya satu keinginan yang belum terealisasi sepenuhnya, tetapi sudah ia jalankan dengan perlahan. Ia ingin menciptakan sebuah kawasan di punggung Gunung Geulis tempat dimana ia tinggal, yaitu kawasan yang penuh sesak dengan perbukuan. Mulai dari kelas menulis, sekolah berkarakter buku, pesantren buku, usaha bernuansa buku. Ia yakin proyek besar itu bisa dilaksanakan, pelan-pelan. (hal. 299-315).
            Tasaro juga menuturkan bagaimana pergolakan batinnya dulu ketika mulai menulis buku Muhammad SAW: Lelaki Penggenggan Hujan (MLPH). Buku yang telah merubah dan mengobrak-abrik kehidupannya. Membuat perjamuan spiritual luar biasa bagi dirinya. MLPH tak semulus yang dibaca orang. Sewaktu masih berupa ide, buku ini telah ditentang dan diperdebatkan. (hal. 316-335) karena ia dianggap bukanlah siapa-siapa, bukan orang yang kompeten menuliskan kisah Rasulullah. Itulah permasalahan utama  titik kritik yang dihadapi Tasaro.
            Pada bagian kedua ini, selain tulisan Tasaro, ada juga diselipkan tulisan sahabat dan ibunya untuk melengkapi kenangan-kenangannya bersama orang-orang tercinta yang selalu mendukungnya.
            Diakhir buku ini, Tasaro menulis bahwa sewindu perjalanan hidupnya bersama sang istri bukanlah waktu yang sebentar. Waktu yang cukup menimbang cinta. Ia dapat menyikapi setiap permasalahan, mencari solusi, dan menjalani paket kehidupan dengan berbagai warna dan rasa, memunculkan sebuah konklusi: cinta itu tentang waktu. Cinta selalu menjadi energi pembangun yang tak ada habisnya bagi Tasaro.(hal. 378)
Membaca kisah hidup sang juru dongeng ini akan membuat kita tersadar bahwa orang-orang yang ada di sekitar kita sesungguhnya amat sangat mendukung dan mencintai kita. Walaupun mereka menunjukkan dengan caranya masing-masing.


#. Resensi ini untuk Lomba Resensi Buku Sewindu Oleh Tiga Serangkai 

 

SEWINDU: EPISODE HIDUP SANG JURU DONGENG Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Saleh Khana

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.