Oleh: Muhammad Saleh
Judul
Buku : Sewindu
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Metagraf,
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Metagraf,
Website : www.tigaserangkai.com
Tahun : I, Maret 2013.
Tebal : 382 halaman.
ISBN : 978-602-9212-78-5
Tahun : I, Maret 2013.
Tebal : 382 halaman.
ISBN : 978-602-9212-78-5
Tak banyak penulis yang setiap
menerbitkan karya, selalu laris manis di pasaran. Bisa di hitung dengan jari
penulis-penulis yang selalu sukses dengan setiap karyanya dan bahkan meraih
label best seller pada sampul bukunya. Salah satunya adalah Tasaro GK, akronim dari
seorang lelaki bernama Taufik Saptoto Rohadi, sedangkan GK adalah tempat
kelahirannya, Gunung Kidul.
Pria yang lahir pada 01
September 1980 ini telah melahirkan belasan buah buku lebih. Diantara karyanya
adalah: Wandu: Berhenti jadi Pengecut,
Samitha, Di Serambi Makkah, Galaksi Kinanthi, Rindu Purnama, Seri Pitaloka, Oh,
Achiles!, Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan, Muhammad: Para Pengeja Hujan,
Nibiru dan Ksatria Atlantis, Keajaiban Rezeki, dan yang terbaru Sewindu.
Kemampuan menulisnya tak usah diragukan lagi. Dengan
kepiawaiannya mengolah kata membuat cerita-cerita yang ditulisnya menjadi
sangat memukau dan menyentuh hati pembaca. Sederet penghargaan menulis pun
pernah ia raih: Nominasi Anugerah Pembaca 2010 (Galaksi Kinanthi), Runner-Up IBF Award 2009 (Galaksi Kinanthi), Karya Terpuji Pena Award 2009 (Galaksi Kinanthi), Nominasi IBF Award
2008 (Monomo: Mencari Jejak Raksasa),
Penulis Terbaik Adikarya IKAPI 2007( Oh,
Achilles!), Penulis Terbaik Adikarya IKAPI 2006 (Di Serambi Mekkah), Juara Penulisan Skenario Direktorat Film 2006 (Bubat: Pitaloka Tak Pernah Belapati),
Juara Penulisan Cerbung Femina 2006 (Mad
Man Show), Penghargaan Penulis Menpora 2006 (Kontes Kecantikan, Legalisasi Kepura-puraan), Novel Terbaik
Nasional FLP Award 2005 (Wandu:
Berhentilah Jadi Pengecut).
Bagi para pengagum karyanya ataupun
yang penasaran dengan sosoknya, tentu ingin mengenal sosok Tasaro ini lebih
jauh. Lewat buku terbarunya, Sewindu
terbitan Tiga Serangkai, Solo, Tasaro membagi kisah hidupnya. Tentang
perjalanan dirinya hingga bermetamorfosis seperti saat ini.
Sewindu
tampak berbeda dari setiap karya yang diramu apik dalam kisah-kisah fiksinya
yang mengandalkan imajinasi. Sewindu bernarasi tentang setiap jengkal episode
dan wilayah hidupnya dalam kebersahajaan, kejujuran, bahkan keluguan dan
kejenakaannya.
Buku ini terbagi dalam dua bagian.
Bagian pertama mengisahkan tentang perjalanan hidupnya ketika memulai biduk
rumah tangga dengan seorang gadis bernama Alit Tuti Marta. Waktu awal
perkawinannya, Tasaro harus rela berpisah selama beberapa hari dari sang pujaan
hati, hanya karena jarak tempat bekerjanya yang jauh. Tasaro bekerja di Bandung
sebagai wartawan, sedangkan istrinya tinggal di Cirebon dengan sang ibu. Ia
hanya punya waktu dua hari, sabtu dan minggu bersama istri, itupun banyak
dihabiskan dengan tidur sampai puas karena terlalu capek dalam perjalanan. (hal
2-8).
Seluruh kisah-kisah penuh perjuangan
dan pengorbanan dalam mengarungi rumah tangga ia tuangkan dalam bagian ini, dari
cerita bahagia, senang, sedih, tangis, tawa dan jenaka ia tuturkan dengan gaya lugas, mengalir, dan santai ala cerpen. Dari
mulai cerita hiruk-pikuk kehidupan rumah tangganya, pergulatan dengan dunia
tulis-menulis sampai cerita tentang keinginannya belajar mengaji Al-Qur’an dengan
benar pada usia yang menurutnya cukup terlambat, 22 tahun.(hal. 103).
Ada bagian yang cukup
menggelitik yang membuat pembaca tersenyum, saat Tasaro dan istrinya berdebat
tentang menu masakan untuk besok. Tasaro ingin dimasakkan makanan favoritnya,
oseng-oseng daun pepaya, tetapi seketika istrinya cemberut dan menolak karena
tak suka dengan menu itu, dan perbincangan pun menjadi buntu. Sehingga pada halaman
awal pada buku ini, Tasaro mendedikasikannya tulisannya untuk sang istri “Untuk Alit Tuti Marta: Masih kutunggu
oseng-oseng daun pepaya itu...” begitu tulis Tasaro.
Berbeda dengan bagian pertama, pada bagian kedua, Tasaro
membagi kisahnya setelah delapan tahun berproses menjadi seorang suami. Tasaro lebih
banyak menuturkan tentang kisah orang-orang terdekatnya yang sangat berpengaruh
dalam kehidupannya. Dari cerita tentang ibu, istri, anak, ayah, dan para
sahabatnya yang selalu menjadi sumber motivasi dan inspirasinya.
Tasaro juga punya satu keinginan yang belum terealisasi
sepenuhnya, tetapi sudah ia jalankan dengan perlahan. Ia ingin menciptakan
sebuah kawasan di punggung Gunung Geulis tempat dimana ia tinggal, yaitu
kawasan yang penuh sesak dengan perbukuan. Mulai dari kelas menulis, sekolah
berkarakter buku, pesantren buku, usaha bernuansa buku. Ia yakin proyek besar
itu bisa dilaksanakan, pelan-pelan. (hal. 299-315).
Tasaro juga menuturkan bagaimana
pergolakan batinnya dulu ketika mulai menulis buku Muhammad SAW: Lelaki Penggenggan Hujan (MLPH). Buku yang telah merubah
dan mengobrak-abrik kehidupannya. Membuat perjamuan spiritual luar biasa bagi
dirinya. MLPH tak semulus yang dibaca orang. Sewaktu masih berupa ide, buku ini
telah ditentang dan diperdebatkan. (hal. 316-335) karena ia dianggap bukanlah
siapa-siapa, bukan orang yang kompeten menuliskan kisah Rasulullah. Itulah permasalahan utama titik kritik yang dihadapi Tasaro.
Pada bagian kedua ini, selain
tulisan Tasaro, ada juga diselipkan tulisan sahabat dan ibunya untuk melengkapi
kenangan-kenangannya bersama orang-orang tercinta yang selalu mendukungnya.
Diakhir buku ini, Tasaro menulis
bahwa sewindu perjalanan hidupnya bersama sang istri bukanlah waktu yang
sebentar. Waktu yang cukup menimbang cinta. Ia dapat menyikapi setiap
permasalahan, mencari solusi, dan menjalani paket kehidupan dengan berbagai
warna dan rasa, memunculkan sebuah konklusi: cinta itu tentang waktu. Cinta selalu
menjadi energi pembangun yang tak ada habisnya bagi Tasaro.(hal. 378)
Membaca kisah hidup sang juru dongeng ini akan membuat kita
tersadar bahwa orang-orang yang ada di sekitar kita sesungguhnya amat sangat mendukung
dan mencintai kita. Walaupun mereka menunjukkan dengan caranya masing-masing.
#. Resensi ini untuk
Lomba Resensi Buku Sewindu Oleh Tiga Serangkai
0 komentar:
Post a Comment