Wednesday, February 24, 2016

HARGA DIRI


Cerpen ini pernah tayang di Annida Online


Penulis: Muhammad Saleh

“Mas, beras kita sudah habis,” hati-hati sekali kalimat itu kuucapkan pada Bayu, suamiku. Wajahnya kusam berbau debu jalanan. Kutahu ia sangat kelelahan setelah seharian mencari kerja menawarkan surat lamaran dari kantor ke kantor. Dari raut lesunya, dapat kutebak kalau hari ini ia gagal lagi.
Tapi kalimat itu harus segera kusampaikan, sebab tak ada yang bisa dimasak lagi untuk makan nanti malam. Semua telah habis. Bayu tak menyahut. Ia tetap memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya di kursi sofa.
“Mas...!”
“Narti..., Mas ini lagi capek, apa kau tak bisa menyelesaikan masalah itu sendiri? Bukannya bikinin Mas air minum...!” dDngan nada jengkel Bayu menyahut, pandangannya tajam menatapku.
“Tapi, Mas... Kita tak punya uang lagi untuk membeli beras,”
“Kalau begitu kamu pergi ke warung Mpok Jainab, ngutang sana!”
“Ngutang? Utang kita sama Mpok Jainab sudah terlalu banyak. Aku malu, Mas, kalau terus-menerus ngutang.” Ingin rasanya aku menumpahkan airmata ini, sebab aku sendiri sudah tak tahu berapa jumlah utang belanjaanku pada Mpok Jainab.
“Ah...., pokoknya Mas nggak peduli. Malam ini harus ada makanan di meja makan. Titik. Mas mau mandi dulu.” Tanpa mempedulikanku lagi, Bayu langsung melengos menuju kamar. Melepas baju dan pergi ke kamar mandi.
***
Dengan tatapan sinis, Mpok Jainab menatapku. “Ingat... ini yang terakhir! Jika kau belum melunasi semua hutangmu, maka jangan harap aku akan melayanimu lagi.” Kata Mpok Jainab ketus. Aku hanya mengangguk lemah, hanya itu yang bisa kulakukan.
“Terima kasih, Mpok.”
Dengan segenap perasaan malu yang sudah menggunung, aku pulang membawa seliter beras dan 2 butir telur ayam. Aku tak tahu sampai kapan perasaan ini dapat kutanggung. Mpok Jainab telah melabeliku sebagai tukang ngutang. Namun, aku masih beruntung, para tetanggaku tak ada yang tahu hal ini. Jika tidak, aku pasti akan dijadikan bahan pergunjingan mereka.
Sesampai di rumah kulihat Bayu sedang mempersiapkan surat lamaran kerja lagi untuk besok dibawa dan menyerahkannya ke kantor-kantor lain. Begitu aku masuk, ia hanya melirikku sekilas. Tanpa ekspresi. Kemudian Bayu kembali menekuri pekerjaannya yang tertunda.
Selesai memasak, kubikin secangkor kopi. Kuhampiri Bayu yang sedang menyandarkan punggung di kursi sofa dengan pandangan menerawang ke langit-langit rumah. Mungkin bingung, ke mana lagi ia harus menawarkan surat lamaran?
“Ini, Mas. Diminum dulu kopinya.” Tawarku seraya duduk di sampingnya.
“Ehm...,” sahutnya pendek tanpa memalingkan muka. Kualihkan pandang pada beberapa map berwarna merah di atas meja di depanku.
“Kemana lagi Mas akan membawa surat lamaran ini?”
Bayu menatapku sesaat, lalu tangannya meraih gelas kopi yang tadi kuhidangkan. Masih tercium aroma khas kopi dengan kepulan asap tipis di atasnya. Kulihat bayu begitu menikmati setiap tegukan kopi yang melewati tenggorokannya.
“Mas juga tak tahu ke mana lagi akan menawarkan surat lamaran ini. Hampir semua kantor yang mas masuki tak membuka lowongan pekerjaannya.” Tarikan napas Bayu terdengar berat. Ada rasa keputusasaan dalam kalimat itu, aku dapat merasakan. Sudah dua bulan lebih Bayu kesana kemari mencari pekerjaan sejak di PHK. Namun hingga kini ia masih menganggur.
“Apa tak sebaiknya Mas mencari pekerjaan selain di kantor,” usulku. Aku juga mulai tak tahan melihat Bayu terlalu lama menganggur. Selain demi memenuhi kebutuhan keluarga, kulihat ia sering stres dan marah-marah tak karuan.
“Maksud kamu?” Bayu menatapku tak mengerti. Alisnya yang tebal hampir bertaut karena bingung.
“Maksud Narti, Mas jangan selalu mengandalkan ijazah Mas untuk mencari pekerjaan. Mas bisa mencari pekerjaan dengan tenaga Mas, melamar menjadi buruh bangunan ataupun berjualan di pasar.”
“Hah... apa kau sudah gila, Narti?” Bayu melotot menatapku. Sudut bibir kanannya terangkat, persis seperti adegan sinetron yang sering kulihat, Bayu meremehkan ide yang kuberikan, “Mas ini seorang sarjana, Narti. Apa kata orang nanti kalau Mas bekerja sebagai seorang buruh bangunan. Hanya bikin malu! Percuma Mas kuliah tinggi-tinggi kalau hanya untuk menjadi seorang buruh ataupun pedagang di pasar.” Imbuhnya emosi.
“Apa salahnya Mas bekerja sebagai seorang buruh, daripada Mas terus menganggur. Yang penting halal!”
“Halah... jaman sekarang cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!” Bayu mengibaskan tangannya. “Sampai kapanpun Mas tak akan mau bekerja seperti itu. Mas yakin akan mendapat pekerjaan yang pantas sesuai pendidikan yang Mas miliki.”
“Sampai kapan? Sampai catatan utang Mpok Jainab penuh oleh utang-utang kita! Atau sampai perabotan rumah ini habis terjual untuk memenuhi kebutuhan kita? Apa itu yang Mas inginkan? Hiks...,” tak dapat lagi kubendung amarah ini. Tangisku pecah oleh besarnya rasa gengsi yang dimiliki Bayu. Ia memang seorang sarjana, tapi bukan berarti itu dijadikan alasan untuk memilih-milih pekerjaan. Banyak sarjana yang bekerja tak sesuai dengan pendidikannya, tapi akhirnya mereka bisa sukses.
Prang!
“Arghhhh... tahu apa kau tentang pekerjaan. Tugasmu hanya mengurusi rumah!” Bentak Bayu sambil membanting gelas kopinya. Ia menatapku penuh amarah, lalu meninggalkanku pergi sambil meraih map-map surat lamarannya. Bayu membanting pintu kamar dengan keras lalu menguncinya dari dalam.
Hiks... Hiks...
Aku sesenggukan di kursi sofa. Memang aku tak pernah menyesal menikah dengan Bayu. Namun yang kusesalkan adalah sikap egoisnya, ia begitu mementingkan harga diri daripada keluarganya. Ya Allah, bukakanlah pintu hati suami hamba, doaku pada Sang Pemilik Rezeki.
***
Matahari sudah meninggi satu tombak, tapi Bayu belum juga keluar kamar. Tadi malam aku terpaksa tidur di sofa ruang tengah, karena Bayu tak membukakan pintu kamar untukku. Atau mungkin, suamiku itu sudah terlelap karena kelelahan?
Aneh, tak biasanya ia seperti ini. Jam enam pagi biasanya ia telah siap untuk pergi. Ada perasaan tak enak yang menggelayuti hatiku, bahkan sejak selesai shalat subuh tadi aku merasakan ada sesuatu, entah apa.
Kuketok pintu dengan pelan. Aku takut Bayu masih tidur, dan merasa terganggu dengan kehadiranku sehingga membuatnya marah.
“Mas.. bangun! Hari sudah siang. Mas tak pergi hari ini?”
Tak ada sahutan. Kutempelkan telinga ke daun pintu, kali saja ada suara dengkuran yang terdengar. Hening. Hatiku menjadi gelisah, apakah telah terjadi sesuatu dengan Bayu di dalam?
“Mas... bangun, Mas!” Teriakku sambil menggedor pintu. Rasa khawatirku semakin menjadi. Aku mulai membayangkan hal terburuk yang menimpa suamiku di dalam. Tiba-tiba pintu kamar terkuak. Bayu dengan pakaian rapi berdiri di ambang pintu. Tangannya telah memegang map yang sedari tadi malam telah disiapkannya. Ah, aku menjadi lega melihatnya.
“Ada apa teriak-teriak?” Tanyanya tanpa merasakan kekhawatiranku tadi.
“Nggak, Mas. Narti hanya takut saja terjadi sesuatu dengan Mas di dalam. Sebab Mas dipanggil tak menyahut,” kataku.
Bayu tak menanggapi. Ia langsung berlalu menuju meja makan. “Apa sarapan untuk Mas sudah kau siapkan?”
“Sudah, Mas. Tapi hanya telur dadar dan nasi putih,” sahutku tak enak, mengikutinya di belakang. Karena hanya itu sisa makanan yang di-utang kemarin di warung Mpok Jainab.
Bayu tak protes. Ia makan dengan lahap. Mungkin karena kelaparan sebab tadi malam tak sempat makan. Bayu melirikku.
“Kau tak makan?”
“Nggak, Mas. Hari ini Narti puasa sunah,” sahutku sambil tersenyum. Lebih baik aku berpuasa daripada harus mengeluh dengan nasib keluargaku ini. Selain demi menghemat kebutuhan, semoga saja niatku ini menjadi nilai ibadah.
“Baguslah...,” sahut Bayu datar.
Selesai sarapan, Bayu langsung pergi. Tak lupa ia meminta doa padaku, semoga hari ini ia mendapat pekerjaan. Tentu saja aku selalu mendoakannya, bahkan tiap selesai shalat aku selalu berdoa untuk kebaikannya dan keluarga kecil kami.
Ah, seandainya suamiku itu tak pilih-pilih pekerjaan, sudah seminggu lalu ia tak perlu lagi turun naik kantor untuk melamar kerja. Waktu itu Haji Burhan sengaja datang ke rumah kami menawarkan pekerjaan pada Bayu, sebagai pramusaji istilah kerennya atau pelayan di rumah makan "Goyang Lidah" milik Haji Burhan.
Dengan alasan harga diri dan gengsi sebagai seorang sarjana, Bayu langsung menolak dengan tegas tawaran Haji Burhan. Bahkan, Bayu menganggap tawaran Haji Burhan itu sebagai penghinaan buatnya sebagai seorang sarjana yang berpendidikan tinggi. Ia sangat tersinggung karena telah merasa diremehkan. Tanpa sungkan Bayu langsung menyuruh Haji Burhan keluar.
Padahal aku tahu, Haji Burhan pasti bermaksud baik. Dia ingin membantu keluarga kami karena tahu kalau Bayu telah di-PHK dan menjadi pengangguran.
Tak selamanya seorang sarjana harus bekerja sesuai kualifikasi pendidikannya. Dengan sebuah harapan, aku kembali masuk ke dalam rumah. Aku ingin melaksanakan shalat dhuha, bermunajat pada Sang khalik, agar suamiku diberikan kemudahan dan rezeki.
***
­­Tok... Tok... Tok...
Kudengar suara ketukan di depan pintu. Aku yang sedang menyapu lantai di ruang tengah, segera membuka pintu. Begitu daun pintu terbuka, dua orang polisi berseragam lengkap, berdiri di depan pintu
“Apa benar ibu istri Bayu Pamungkas?” Tanya salah satu polisi.
Aku mengangguk. “Apa yang telah terjadi dengan suami saya, Pak?” Tanyaku mulai cemas. Ada perasaan tak enak kembali.
“Suami ibu sekarang ada di kantor polisi. Ia tertangkap basah sedang mencopet di dalam bus.”
“Apa... Mencopet?!” Tak dapat kusembunyikan keterkejutanku. Setengah tak percaya hati ini mendengar kabar itu. Mana mungkin Bayu mencopet, dia orang baik. Mana mungkin ia mau mengerjakan perbuatan hina itu.
Dua polisi itu kemudian mengajakku ke kantor polisi untuk meminta keterangan. Setelah mengganti pakaian, aku pun ikut dengan mereka. Aku harus memastikan, apakah benar Bayu, suamiku, yang ada di kantor polisi itu.
Lima belas menit dalam perjalanan, kini kami telah sampai. Polisi itu langsung mengajakku ke dalam kantor. Begitu aku melihat siapa yang berada di dalam sel, perasaanku langsung remuk redam. Tangisku pecah, seakan tak percaya melihat kenyataan ini.
Wajah Bayu penuh lebam. Bibirnya pecah. Bahkan, ada satu giginya yang tanggal. Bayu pun tak bisa menahan airmatanya. Ia menangis memelukku.
“Maafkan, Mas, Narti. Mas telah melakukan perbuatan yang tercela ini.” Cetus Bayu penuh penyesalan. Cairan bening matanya melelah dan meresap menembus pakaianku. Kurasakan hangatnya saat menyentuh kulitku.
“Kenapa, Mas, melakukan ini?” Isakku masih dalam pelukannya.
Bayu melepaskan pelukannya. Matanya sembab menatapku. Dengan wajah tertunduk, ia mulai bercerita. Saat berangkat tadi pagi, Bayu berpapasan dengan Mpok Jainab. Mpok Jainab memintanya untuk segera melunasi utang-utangku yang sudah sangat banyak. Mpok Jainab mengancam, kalau besok Bayu tak juga melunasinya, Mpok Jainab akan menceritakan kepada warga-warga lain bahwa keluarga Bayu Pamungkas adalah tukang utang.
Tentu saja, Bayu yang mempunyai harga diri tinggi tak ingin itu terjadi. Ia tak ingin namanya tercoreng. Bayu nekat mencopet di dalam bus saat melihat ada dompet seorang ibu yang menyembul dari dalam tasnya. Airmata Bayu semakin menderas saat mengakhiri ceritanya. “Sekali lagi maafkan, Mas, Narti.”
Bayu kembali memelukku. Tangisku pun juga terus mengalir. Sedemikian nekatnya ia melakukan ini hanya demi harga diri. Semoga saja dengan kejadian ini Bayu akan sadar, bahwa tak selamanya harga diri itu berbentuk jabatan dan harta.


Barabai, 25 Januari 2012

HARGA DIRI Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Saleh Khana

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.