Judul
Buku : Menggali
Sumur dengan Ujung Jarum
Penulis
: Tia Setiadi
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta.
Tahun : I, April 2015.
Tebal : 208 halaman.
ISBN : 978-602-255-852-1
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta.
Tahun : I, April 2015.
Tebal : 208 halaman.
ISBN : 978-602-255-852-1
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari
sastrawan-sastrawan besar dunia. Karya-karya mereka sudah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa dan dibaca oleh orang-orang pecinta sastra dari berbagai
belahan dunia, termasuk Indonesia. Dari karya-karya itu ada hal yang ingin
mereka sampaikan, yang juga dapat diambil pesan-pesan inspiratif, ide-ide
beserta gagasan, yang di sampaikan lewat tulisan hasil buah pikiran dan
imajinasi liar mereka.
Jorge Luis Borges, misalnya,
walaupun ia mengalami kebutaan total pada sebelah matanya, tetapi niatnya untuk
terus menulis tidak pernah surut. Ia tidak memperkenankan kebutaan untuk
mengintimidasinya. Ia tidak pernah menyerah pada takdir. Kebutaan tak menjadi
kemalangan mutlak baginya, dan tak seharusnya orang melihatnya dengan cara yang
menyedihkan. Ia malah bersyukur dengan kebutaan yang ia alami.
Menjadi buta menjadi keuntungan
sendiri bagi Jorge. Ia merasa berhutang pada kegelapan yang telah banyak
memberikan penghargaan bergengsi buatnya. Dari kegelapan lahir karya-karya
besarnya yang membuat ia meraih nobel sastra. Hadiah dari Anglo-Saxon,
pengetahuan terbatasnya tentang Islandia, kegembiraan dari begitu banyak baris
puisi dan sajak yang berhasil ia ciptakan, dan juga buku-buku sastra yang telah
ia tulis. (halaman 103).
Tak berbeda dengan Jorge, Orhan
Pamuk, sastrawan asal Turki ini juga begitu mencintai dunia sastra. Ia
menghabiskan hidupnya hanya untuk sastra. Tanpa sastra hidupnya akan terasa
kurang tiada gairah. Tanpa sastra hidupnya terasa bagai mayat hidup. Banyak
alasan mengapa ia begitu sangat menyukai sastra. Dorongan batin selalu
memintanya untuk terus menulis, sehingga tak mungkin bisa ia tinggalkan hingga
akhir hayatnya nanti.
“Saya menulis karena saya menyukai
bau kertas, pena, dan tinta. Saya menulis karena saya percaya pada sastra, pada
seni novel, lebih dari kepercayaan saya pada yang lainnya. Saya menulis karena
ia adalah kebiasaan, gairah. Saya menulis karena saya takut dilupakan. Saya menulis
karena saya tak pernah bahagia. Saya menulis untuk bahagia” (halaman 165).
Naguib Mahfouz mulai mencintai
sastra kerena jiwanya terusik berbagai
bencana yang terjadi dari belahan dunia. Ia merasa takdirnya, di lahirkan dalam
pangkuan dua peradapan, untuk menyerap air susunya, melahap kesusastraan, dan
kesenian mereka. Menurut Naguib, semi itu murah dan simpatik.
Baginya,
seni tinggal bersama mereka yang bahagia dan dalam cara yang sama. Seni juga
tak meninggalkan mereka yang malang. Seni menganugerahkan kepada keduanya
cara-cara yang tepat untuk mengekspresikan segala sesuatu yang kacau di dada
mereka. Pada kesempatan yang menentukan dala sejarah peradapan ini, tak bisa
dibayangkan dan tak bisa di terima bahwa ratapan umat manusia itu mesti
dibiarkan meluput dalam kehampaan. (halaman 174).
Seamus Heaney juga merasakan hal
sama. Sastra adalah hidupnya. Puisi-puisi yang ia tulis menggambarkan
kegelisahan relung hatinya. Ia menghargai puisi lantaran membuat perjalanan
ruang angkasa menjadi mungkin. Ia begitu menghargai puisi sebab segurat baris
puisi yang ia tulis dengan jujur selalu memerintahkan dirinya untuk ‘berjalan
di udara menentang penilaianmu yang lebih baik.
Seamus begitu mencintai puisi karena
dapat membuat sebuah tata seperti halnya member dampak pada kenyataan eksternal
dan sepeka hukum-hukum batin dari keberadaan seorang penyair laiknya
tetesan-tetesan yang menetes ke dalam dan keluar menyeberangi genangan air di
dalam ember dapur lima puluh tahun silam. (halaman 184).
Enam
penulis peraih nobel sastra mencurahkan ide, hasrat, dan imajinasi mereka dalam
buku ini. Darinya kita bisa mengambil gambaran dan inspirasi, bahwa hidup tidak
pernah bisa berjalan tanpa orang lain. Hidup akan terus berlanjut walaupun
kekurangan dalam diri memaksanya untuk terus berhenti. Bagi mereka seni adalah
bahasa. Bahasa yang dapat menyampaikan kegelisahan maupun kebahagian dalam
hati. Selamat membaca.
Dimuat Koran Jakarta, 24 September 2015
Blog yang bagus.... semoga terus berkembang....Saya ingin berbagi wawancara dengan Gabriel Garcia Marquez (imajiner) artikel di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/09/wawancara-dengan-gabriel.html
ReplyDeleteMau tanya. Apakah perlu berlangganan dulu untuk mendapatkan versi e-papernya Koran Jakarta? Terima kasih.
ReplyDeleteMau tanya. Apakah perlu berlangganan dulu untuk mendapatkan versi e-papernya Koran Jakarta? Terima kasih.
ReplyDeleteMau tanya. Apakah perlu berlangganan dulu untuk mendapatkan versi e-papernya Koran Jakarta? Terima kasih.
ReplyDelete