Judul
Buku : Bersetia
Penulis
: Benny Arnas
Penerbit : Qanita, Bandung
Tahun : I, 2014.
Tebal : 604 halaman.
ISBN : 978-602-1637-25-8
Penerbit : Qanita, Bandung
Tahun : I, 2014.
Tebal : 604 halaman.
ISBN : 978-602-1637-25-8
Pada halaman Sekacip Pinang di
bagian akhir buku ini, Benny Arnas menganalogikan bahwa novel yang ia tulis ini
sebagai “rumah baru” dalam perjalanan karirnya sebagai seorang penulis,
sedangkan menulis cerpen ia sebut sebagai “rumah lama”. Benny Arnas memang
dikenal dari cerpen-cerpennya yang bertemakan lokalitas kental daerah
kelahirannya, Lubuklinggau. Ia mengatakan, tak akan meninggalkan “rumah lama” nya
demi “rumah baru” yang baru di jejaknya.
Novel perdananya yang ia tulis ini
bisa di bilang bukanlah tema baru, atau, kalau boleh di bilang temanya sudah klise.
Novel yang di garapnya dengan semangat pasang surut ini menceritakan tentang
seorang gadis bernama Embun alias Ratna- gadis lugu dan sederhana serta penyuka
teh. Ia berjodoh dengan seorang fotografer ganteng bernama Brins van Hoye-
lelaki yang suka bergaul dan ramah terhadap kliennya.
Seperti kebanyakan kisah cinta
pengantin baru pada umumnya, tentu saja kebahagiaan mewarnai masa-masa awal
pernikahan mereka. Brins dan Embun selalu menyempatkan untuk minum teh bersama setiap
sore untuk menambah keakraban dan keromantisan kehidupan percintaan mereka.
(hal. 196). Masa perkenalan yang begitu singkat membuat Embun dan Brins belum
hafal dan memahami betul karakter masing-masing pasangannya.
Seiring berjalan waktu, konflik
rumah tangga pun mulai muncul kepermukaan. Berawal dari rasa cemburu Embun yang
mengira Brins sudah mulai mendekati gadis lain, lalu itu menyulut pertengkaran
dengan Brins. (hal. 206). Kian hari konflik ini mulai menampakkan intensitas
yang semakin bertambah seiring mulai lunturnya sebuah kepercayaan dari Embun.
Puncaknya Embun memergoki perilaku
bejat Brins ketika Embun berkunjung ke kantor suaminya itu. Dan masalah itu
membuat Embun memutuskan untuk kembali ke kampung kelahirannya, Lubuklinggau. Lalu
bagaimana cara Brins merayu Embun agar bisa percaya lagi kepadanya seperti awal
pernikahan? Dan bagaimana pula cara Embun dalam meredam kesedihannya setelah
kesetiaannya dibuat hancur oleh penghiatan lelaki yang amat di cintainya itu? Di
sinilah pandainya seorang Benny Arnas mengaduk-aduk perasaan pembaca. Pembaca seolah-olah
dapat menyatu dengan para tokoh-tokohnya. Dengan alur maju yang disajikan
penulis seolah cerita ini benar-benar pernah terjadi dalam kehidupan nyata.
Sayangnya, novel setebal 604 halaman
ini bisa di bilang berjalan sangat lambat dan bertele-tele. Bagian pertama
novel ini saja sudah menghabiskan sekitar 160 halaman awal tanpa ada konflik
yang cukup berarti, sehingga pembaca akan cepat merasa bosan untuk terus
melanjutkannya.
Untungnya, novel ini diselamatkan
oleh nama penulisnya yang sudah cukup di kenal di jagat sastra nusantara.
Dengan kepiawaian Benny Arnas merangkai kalimat-kalimat dengan diksi-diksi
indah yang menjadi ciri khas disetiap tulisannya, pembaca masih berharap ada twist yang di temukan pada akhir cerita
ini.
Terlepas dari kekurangan cerita yang
terasa membosankan karena berjalan sangat lambat, Benny Arnas mampu
menyampaikan pesan tersirat dalam novel ini untuk di renungkan dalam hal
kehidupan berumah tangga.
Cinta dan cemburu sudah menjadi bagian
dari kehidupan dalam berumah tangga. Akan tetapi, hanya sebagian saja yang
mampu menyelesaikannya dengan arif dan bijaksana tanpa harus mengambil jalan
perpisahan.
Benny Arnas dengan kelihaiannya
bermain kata lewat novel ini menggambarkan makna dari sebuah kesetiaan. Kesetiaan
berawal dari rasa saling percaya, jujur, dan sehati satu sama lain, tanpa itu
terasa akan sulit untuk menjaganya. Sebab, bila sudah terlanjur retak, cinta
yang kembali tak akan bisa seperti semula.
Setia adalah genggaman sepasang tangan dengan perangai yang
berseberangan. Yang kanan menuliskan perjanjian. Yang kiri menjelma cemburu. Lalu
apa kabat cinta, bila tangan kiri membakar tangan kanan? (back cover)
Novel karya Tokoh Muda Sastra
Indonesia 2013 pilihan Jawa Pos ini memang patut kita apresiasi untuk menambah kekayaan
sastra di Indonesia. Ciri khasnya dalam menghadirkan warna lokalitas pada
setiap tulisannya patut kita acungi jempol, Benny Arnas tetap konsisten dengan
hal ini walaupun pindah ke “rumah baru”. Jika anda kini berada dalam kubangan kesedihan
karena telah dikhianati, maka novel ini menjadi bacaan yang pas untuk memahami
tentang arti sebuah kesetiaan.
0 komentar:
Post a Comment