Oleh: Muhammad Saleh
Judul
Buku : Pasukan Paspor
Penulis : Sofie Dewayani
Penerbit : Tiga Ananda, (Tiga Serangkai, Solo)
Tahun : I, Desember 2012
Tebal : 64 halaman.
ISBN : 978-602-7690-43-1
Penulis : Sofie Dewayani
Penerbit : Tiga Ananda, (Tiga Serangkai, Solo)
Tahun : I, Desember 2012
Tebal : 64 halaman.
ISBN : 978-602-7690-43-1
Literasi
anak tampak semakin berkembang pesat di negara tercinta kita ini. Walau tak di
imbangi dengan peningkatan pada minat baca masyarakat. Penulis dewasa maupun
anak-anak seolah bersaing untuk menghadirkan karya-karya terbaik mereka.
Bahkan, kian hari penulis-penulis cilik berbakat semakin bermunculan.
Namun, kebanyakan novel maupun
kumpulan cerpen anak hanya mengangkat cerita- cerita tentang dunia sekolah,
persahabatan, hantu, detektif, dan fantasi. Tak banyak kita temui yang
mengangkat tema-tema sosial yang dihadirkan dalam sebuah novel anak.
Tema yang jarang diangkat inilah
yang coba dihadirkan Sofie Dewayani dalam novel ini. Memotret kehidupan
anak-anak dan para pengungsi di sebuah penampungan dengan segala
permasalahannya. Sekaligus sebagai sebuah kritik halus pada pemerintah yang
hanya memandang korban-korban lumpur Lapindo sebelah mata tanpa adanya
penanganan yang serius hingga saat ini.
Semenjak lumpur Lapindo meluap,
keluarga Fandi (tokoh dalam novel ini) beserta warga lain harus tinggal di
sebuah tempat penampungan yang sebenarnya untuk Pasar Porong. Fandi harus
berbagi segalanya. Tentu saja keperluan selama mereka tinggal ditempat itu
hanya mengandalkan sumbangan dari para donatur. (hal. 11-16).
Penulis yang juga seorang dosen di
Institut Teknologi Bandung serta peneliti sastra anak dan literasi anak ini
mencoba menggambarkan bahwa hidup di sebuah penampungan itu sangat berat dan
tidak enak. Selain harus rela berbagi tempat dan segalanya, mereka juga harus
pandai dalam menjaga harta benda mereka.
Misalnya ketika Retno, kakak
perempuan Fandi, tiba-tiba berteriak dan menangis semakin keras karena
kehilangan nasi kotak untuk keluarganya yang baru dibagikan. Fandi merasa
bersalah karena ia terlalu asik dengan nasi kotaknya sendiri dan tidak
memperhatikan nasi kotak yang lain. Dengan berat hari ia menyerahkan nasi
kotaknya pada Retno dan adiknya agar berhenti menangis. Fandi sendiri harus
menahan lapar. Dan peristiwa itulah yang
melatar belakangi terbentuknya pasukan Paspor yang menjadi judul pada novel
ini. (hal. 17-26).
Sayangnya, novel ini belum kuat pada
pengggambaran setting cerita. Suasana
penampungan Pasar Porong digambarkan seperti sama saja dengan keadaan pada
tempat-tempat penampungan lain. Sehingga, bagi pembaca yang belum pernah
melihat Pasar Porong sangat sulit untuk membayangkan seperti apa bentuknya dan
keadaan yang sebenarnya.
Terlepas dari kekurangan itu, dari
segi cerita novel ini sudah cukup apik dalam menyajikan ragam permasalahan yang
biasa dihadapi oleh para pengungsi. Pesan yang ingin disampaikan penulis lewat
novel ini pun dapat kita pahami.
Walaupun tujuan penulisan novel anak
ingin memberikan hiburan, pengetahuan, dan pesan moral. Tetapi tak ada salahnya
juga kita menyertakan kritik halus akan peran pemerintah selama ini dalam
mensejahtrerakan masyarakat yang masih belum maksimal. Karena tugas seorang
penulis adalah mengubah dunia dengan tulisannya.
Resensi ini diikutkan untuk lomba resensi:
0 komentar:
Post a Comment