Friday, May 17, 2013

KRITIK SOSIAL DALAM SEBUAH NOVEL ANAK



Oleh: Muhammad Saleh

Judul Buku     : Pasukan Paspor
Penulis            : Sofie Dewayani
Penerbit          : Tiga Ananda, (Tiga Serangkai, Solo)
Tahun              : I,  Desember  2012
Tebal               : 64 halaman.
ISBN               : 978-602-7690-43-1

           
      
          Literasi anak tampak semakin berkembang pesat di negara tercinta kita ini. Walau tak di imbangi dengan peningkatan pada minat baca masyarakat. Penulis dewasa maupun anak-anak seolah bersaing untuk menghadirkan karya-karya terbaik mereka. Bahkan, kian hari penulis-penulis cilik berbakat semakin bermunculan.
            Namun, kebanyakan novel maupun kumpulan cerpen anak hanya mengangkat cerita- cerita tentang dunia sekolah, persahabatan, hantu, detektif, dan fantasi. Tak banyak kita temui yang mengangkat tema-tema sosial yang dihadirkan dalam sebuah novel anak.
            Tema yang jarang diangkat inilah yang coba dihadirkan Sofie Dewayani dalam novel ini. Memotret kehidupan anak-anak dan para pengungsi di sebuah penampungan dengan segala permasalahannya. Sekaligus sebagai sebuah kritik halus pada pemerintah yang hanya memandang korban-korban lumpur Lapindo sebelah mata tanpa adanya penanganan yang serius hingga saat ini.
            Semenjak lumpur Lapindo meluap, keluarga Fandi (tokoh dalam novel ini) beserta warga lain harus tinggal di sebuah tempat penampungan yang sebenarnya untuk Pasar Porong. Fandi harus berbagi segalanya. Tentu saja keperluan selama mereka tinggal ditempat itu hanya mengandalkan sumbangan dari para donatur. (hal. 11-16).
            Penulis yang juga seorang dosen di Institut Teknologi Bandung serta peneliti sastra anak dan literasi anak ini mencoba menggambarkan bahwa hidup di sebuah penampungan itu sangat berat dan tidak enak. Selain harus rela berbagi tempat dan segalanya, mereka juga harus pandai dalam menjaga harta benda mereka.
            Misalnya ketika Retno, kakak perempuan Fandi, tiba-tiba berteriak dan menangis semakin keras karena kehilangan nasi kotak untuk keluarganya yang baru dibagikan. Fandi merasa bersalah karena ia terlalu asik dengan nasi kotaknya sendiri dan tidak memperhatikan nasi kotak yang lain. Dengan berat hari ia menyerahkan nasi kotaknya pada Retno dan adiknya agar berhenti menangis. Fandi sendiri harus menahan lapar.  Dan peristiwa itulah yang melatar belakangi terbentuknya pasukan Paspor yang menjadi judul pada novel ini. (hal. 17-26).
            Sayangnya, novel ini belum kuat pada pengggambaran setting cerita. Suasana penampungan Pasar Porong digambarkan seperti sama saja dengan keadaan pada tempat-tempat penampungan lain. Sehingga, bagi pembaca yang belum pernah melihat Pasar Porong sangat sulit untuk membayangkan seperti apa bentuknya dan keadaan yang sebenarnya.
            Terlepas dari kekurangan itu, dari segi cerita novel ini sudah cukup apik dalam menyajikan ragam permasalahan yang biasa dihadapi oleh para pengungsi. Pesan yang ingin disampaikan penulis lewat novel ini pun dapat kita pahami.
            Walaupun tujuan penulisan novel anak ingin memberikan hiburan, pengetahuan, dan pesan moral. Tetapi tak ada salahnya juga kita menyertakan kritik halus akan peran pemerintah selama ini dalam mensejahtrerakan masyarakat yang masih belum maksimal. Karena tugas seorang penulis adalah mengubah dunia dengan tulisannya.

Resensi ini diikutkan untuk lomba resensi:

KRITIK SOSIAL DALAM SEBUAH NOVEL ANAK Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Saleh Khana

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.