Monday, February 15, 2016

JADI IMAM



Penulis: Muhammad Saleh
Cerpen ini pernah tayang di Republika

SEPULUH hari sudah sejak kedatangan Haji Badrun dari tanah suci Makkah. Warga kampung mulai resah. Pasalnya, Haji Badrun belum juga menampakkan batang hidungnya. Datang ke masjid untuk mengimami shalat. Mereka percaya, selama empat puluh hari, orang yang datang dari berhaji doanya akan diijabah oleh Allah dan cepat terkabul.
Kalau sampai lewat empat puluh hari, warga takut barakahnya sudah tidak ada lagi. Dan, itu sangat disayangkan karena di kampung itu orang yang naik haji sangat langka. Hampir sembilan puluh persen warga kampung itu masuk dalam kategori miskin. Selama sepuluh tahun, paling dua tiga orang yang mampu menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Oleh karena itu, warga sangat mengharapkan Haji Badrun mau mengimami shalat berjamaah di masjid dan minta didoakan.
Desas-desus keresahan warga itu akhirnya sampai juga ke gendang telinga Haji Badrun. Hingga membuat Haji Badrun gelisah.
“Mengapa toh, Pak? Dari tadi mondar-mandir terus….” tegur istrinya, Hajah Halimah, sembari menyajikan kopi panas di meja tamu. Asap putih tipisnya meliuk-liuk menguarkan aroma yang sedap.
“Ada masalah?” tanya Hajah Halimah lagi.
Haji Badrun menggeleng, “Bapak tidak kenapa-napa, Bu. Cuma kegerahan saja,” kilahnya, mengibar-ibarkan baju gamisnya, kemudian duduk di kursi di samping istrinya.
Hajah Halimah mengernyit bingung sambil mendongak ke atas memperhatikan baling-baling yang berputar cepat. “Lho, bukannya kipas angin kita hidup? Masak sampai kepanasan? Bapak ini ada-ada saja,” Hajah Halimah terkekeh sendiri dengan jawaban suaminya.
“Sudahlah, Bu. Sini kopinya….”
Haji Badrun menarik napas dalam, menikmati aroma kopi yang khas menusuk dalam rongga hidungnya. Ah, sedap, gumamnya. Kemudian, dengan cepat dia menyeruput kopinya. Sesaat rasa nikmat kopi menggerogoti setiap aliran darahnya. Sejenak dia dapat melupakan kegelisahannya. Kegelisahan yang selama ini dia khawatirkan, bahkan sebelum berangkat ke Tanah Suci.
***
Selama ini, Pak Badrun (sebelum menyandang gelar haji) selalu menunda-nunda untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Walaupun hartanya sudah cukup untuk membiayai perjalanan spritual itu.
“Pak Badrun, kapan nih mau naik haji?” Tanya seorang warga. Waktu minum di warung tegal. Warung di pojok kampung.
“Iya, Pak Badrun? Pak Badrun kan sudah mampu,” tambah yang lain.
Pak Badrun hanya tersenyum tipis sambil berkata, “Insya Allah, tahun depan….” Kemudian, dia langsung membayar kopi dan kue yang dimakannya. Pak Badrun tak ingin berlama-lama di warung itu. Nanti malah banyak pertanyaan yang dilontarkan padanya. Hajinya, ONH-plus atau biasa? Biaya berapa sekarang? Tentu Pak Badrun tak bisa menjawabnya. Karena memang dia belum daftar nama ke Departemen Agama (saat ini berganti menjadi Kementerian Agama).
Ditunggu oleh warga sampai tahun depan. Ternyata, Pak Badrun belum berangkat haji juga. Ditunggu lagi, tetap sama. Belum juga menyandang gelar haji. Hingga warga kembali mengulang pertanyaan yang sama. Di tempat yang sama. Orang yang sama.
“Pak Badrun, kapan nih mau naik haji?”
“Iya, Pak Badrun? Pak Badrun kan sudah mampu.”
Pak Badrun bingung harus menjawab apa. Tak mungkin lagi baginya untuk memberikan jawaban yang sama juga.
“Masih nunggu antrean…,” jawabnya kikuk. Setelah ingat berita di tv bahwa naik haji sekarang harus menunggu beberapa tahun dulu.
***
Pulang ke rumah, istrinya langsung menyambutnya dengan wajah cemas bercampur gelisah.
“Ibu malu, Pak. Ibu malu….”
“Malu kenapa, toh, Bu?” Pak Badrun mengempaskan berat badannya ke sofa.
“Ibu malu sama ibu-ibu pengajian. Karena terus ditanya, kapan naik hajinya?”
“Ya, bilang aja tahun depan…,” sahut Pak Badrun santai.
“Tahun depan… tahun depan… terus,” Bu Halimah mulai kesal karena cuma kalimat itu yang selalu meluncur dari mulut suaminya. Tapi, belum juga sampai ke Tanah Suci.
“Ya, mau gimana lagi. Cuma itu jawaban yang paling gampang.”
“Ibu, nggak mau lagi ditanyai seperti itu. Pokoknya tahun depan kita harus naik haji, Pak,” cetus Bu Halimah lagi, dengan nada memaksa. Ia sudah capek mendengar alasan suaminya yang selalu saja menolak untuk berangkat haji.
“Tapi, Bu….”
“Tak ada tapi-tapi. Kita berangkat tahun depan. Titik,” Bu Halimah melengos pergi. Meninggalkan suaminya yang masih melongo. Bu Halimah sudah tak sabar ingin menyandang gelar hajah di depan namanya.
***
Akhirnya, Pak Badrun mengabulkan permintaan istrinya untuk berangkat haji tahun ini. ONH-plus, biar cepat, walaupun lebih mahal. Kalau tidak, istrinya akan terus uring-uringan. Berita itu sangat menggembirakan warga kampung. Sudah lama mereka menantikan berita gembira ini.
“Akhirnya, Pak Badrun naik haji juga,” komentar salah seorang warga.
“Iya, aku sudah tak sabar. Bagaimana tampang Pak Badrun dengan kopiah putih di kepalanya, hehehe….”
“Kalau aku, mau minta didoakan, biar bisa naik haji juga.”
“Kalau minta didoakan, punya istrinya dua boleh nggak ya?”
Towelan di kepala disertai suara, “Huu….” langsung membuat semuanya nyengir kuda. Sementara Pak Badrun, benih kekhawatirannya kini mulai menyemai. Apa yang dia takutkan mungkin akan segera berbuah?
***
Tok…! Tok…! Tok…!
Suara ketukan di pintu depan. Membuat Haji Badrun dan Hajah Halimah melongok ke arah pintu.
“Assalamualaikum….”
“Waalaikumsalam. Eh, Pak RT. Mari masuk,” sahut Haji Badrun dan Hajah Halimah hampir bersamaan.
Pak RT masuk diiringi dua orang warga di belakangnya. Setelah bersalaman, mereka duduk berhadapan dengan Haji Badrun. Sementara Hajah Halimah pergi ke dapur menyiapkan minuman untuk tamu-tamunya.
“Ada apa, Pak RT?” tanya Haji Badrun.
Pak RT melirik dua orang lelaki di sampingnya. Kedua lelaki itu hanya menjawab dengan ekor mata mereka. Seolah memberi mandat, Pak RT saja yang mengatakan suatu hal yang selama ini diinginkan warga.
“Begini, Pak Haji.” Ragu-ragu Pak RT berkata, “Saya cuma mewakili warga kampung ini. Untuk meminta dengan hormat agar Pak Haji mau….”
Dug…! Jantung Haji Badrun berdegup kencang. Rasa gelisah yang sempat surut, kini kembali menggeliat. Jangan…? Jangan…? tebak hatinya resah.
“Mengimami shalat berjamaah di masjid, Maghrib nanti…,” lanjut Pak RT. Dua orang warga di samping mengangguk-angguk mengiyakan.
“Iya, Pak Haji. Kami minta dengan sangat….”
“Wah, bagus itu,” Hajah Halimah tiba-tiba keluar dari dapur membawa nampan dengan gelas bertengger di atasnya serta sepiring kue.
“Bapak kan selama pulang dari Tanah Suci belum pernah shalat berjamaah di masjid. Nggak enak sama warga. Apalagi sekarang Pak RT bela-belain datang ke sini untuk meminta langsung sama Bapak agar mengimami shalat…,” lanjut Bu Halimah dengan sedikit bujukan. Ia tak melihat, wajah suaminya berubah pucat. Keringat dingin yang tadi mengembang, kini mengucur deras.
“Bagaimana, Pak Haji?” tanya Pak RT lagi.
Haji Badrun tak langsung menjawab. Gemuruh di dadanya semakin kencang, seolah ada badai tsunami yang sedang menggelayut dalam hatinya. Ia bimbang. Kalau tak diiyakan, pasti citra hajinya akan tercoreng. Ia akan dicap sebagai haji yang sombong. Kalaupun bersedia, kemungkinan nasibnya juga akan sama. Citra hajinya juga tercoreng, malah mungkin semakin buruk.
Tapi, Haji Badrun sungguh tak enak hati karena Pak RT langsung yang memintanya untuk mengimami shalat. Kalau hanya mendengar desas-desus, mungkin dia masih bisa mengelak.
“Ba-baiklah, saya bersedia…,” kata Haji Badrun terbata. Antara gugup dan takut.
Semua menarik napas lega. Kalau semua warga nanti tahu, pasti masjid akan penuh, pikir Pak RT tersenyum senang.
***
Sepuluh hari sudah sejak kedatangan haji Badrun dari tanah suci, Makkah. Warga kampung mulai resah. Pasalnya, Haji Badrun belum juga menampakkan batang hidungnya. Datang ke masjid untuk mengimami shalat. Mereka percaya, selama empat puluh hari, orang yang datang dari berhaji doanya akan diijabah oleh Allah dan cepat terkabul.
Kalau sampai lewat empat puluh hari, warga takut barakahnya sudah tidak ada lagi. Dan, itu sangat disayangkan karena di kampung itu orang yang naik haji sangat langka. Hampir sembilan puluh persen warga kampung itu masuk dalam kategori miskin. Selama sepuluh tahun, paling dua tiga orang yang mampu menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Oleh karena itu, warga sangat mengharapkan haji Badrun mau meng imami shalat berjamaah di masjid dan minta didoakan.
Dan, Maghrib kali ini, Haji Badrun sudah berdiri di atas sajadah dalam mihrab masjid. Seluruh jamaah sudah tak sabar mendengar lantunan ayat Alquran dari mulut Haji Badrun. Memang, Haji Badrun belum pernah mengimami shalat selama hidupnya. Bahkan, ada yang sudah berdehem beberapa kali, namun Haji Badrun belum juga mengangkat takbir.
Mereka tak memperhatikan, kaki Haji Badrun bergetar hebat menahan gugup. Peluh telah membanjir di pelipisnya. Bukan, bukan karena Haji Badrun tak sanggup berkata sehingga belum memulai shalat. Ia tak tahu apa yang harus dibacanya nanti, setelah surah al-Fatihah selesai. Selama ini, ia cuma hafal dua surah saja. Al-Fatihah dan al-Ikhlas. Itulah yang selama ini ia takutkan, bila sudah menyandang gelar haji. Ia diminta mengimami shalat.
Suara deheman semakin nyaring, bahkan bisa dibilang riuh. Haji Badrun semakin gugup. Kini, ia mulai berpikir, bagaimana kalau pura-pura pingsan saja. Kena serangan jantung. Dengan begitu, citra hajinya akan tetap terjaga. Warga kampung jadi tak akan tahu kalau dia tak pandai membaca ayat Alquran. (*)
 .
.
Barabai, 14 Desember 2010

JADI IMAM Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Saleh Khana

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.