Penulis: Muhammad Saleh
(Dimuat di Annida Online, 25 Mei 2010)
Kususuri jalan setapak yang agak menurun dari tebing
dengan langkah kecilku. Kerikil-kerikil terasa menusuk telapak kakiku.
Sisa-sisa embun masih memeluk erat pada sang debu yang tak mengizinkannya untuk
terbang mengembara tak tentu arah. Di sisi kanan dan kiri penuh dengan
rerumputan liar menjalar dan ilalang serta pohon beringin yang menjulang
tinggi, akar-akarnya bertonjolan laksana tangan hantu. Daun-daunnya kering
berserakan menutupi jalan, kadang-kadang tersingkap terbang ditiup angin yang
menyapa.
Di depanku tampak sebuah gubuk
tua reyot badannya sudah agak condong ke kiri. Dindingnya hanya dari
anyaman-anyaman bambu, atapnya dari hambitan daun rumbia tua berlapis-lapis, di
teras gubuk yang cuma beralaskan tanah dibuat sebuah dipan kecil dari bambu
untuk duduk dan beristirahat. Dari tempat aku berdiri terdengar jelas dari
gubuk itu suara halu yang beradu dengan lesungnya. “Duk....duk....duk..!”
Menjadi irama yang mengalun dengan
tempo yang sama, seperti menambah alunan semarak kicau burung pipit bermain
riang. Kulanjutkan langkahku yang sudah mulai lelah, aku sudah berjalan cukup
jauh dari pemukiman rumah penduduk ke ujung jalan ini. Gubuk tua ini memang
dibangun agak jauh dari rumah penduduk, entah kenapa. Aku juga tak tahu. Tempat
ini sungguh asing.
Teman-temanku tidak ada yang mau
bermain ke tempat ini. Takut menjadi mangsa binatang buas. Mereka lebih
suka bermain di dekat rumah-rumah penduduk, katanya lebih aman, walaupun
kadang-kadang mereka juga kena marah dan lemparan sandal. Sebenarnya aku
juga takut, tapi aku sudah terbiasa bermain ditempat ini, lama kelamaan tak ada
lagi rasa takut.
Kuhela nafasku sebentar. Udara sejuk
menyeruak memenuhi rongga pernafasanku. Aku sudah berada tepat di depan gubuk
tua ini. Seperti hari-hari biasa di setiap pagi kulihat seorang wanita tua
sedang berjuang mengerahkan tenaga ringkihnya menumbuk gabah menjadi beras,
untuk dimasak siang nanti.
Aku terus mendekat padanya,
sepertinya ia belum menyadari kedatanganku. Aku berjalan pelan dan melompat ke
atas dipan bambu. Bukan sengaja untuk mengngagetkannya. Tapi, wanita tua itu
kaget mendengar gebrakan tubuhku dengan bambu bagai pohon pisang menimpa tanah.
Kekagetannya seketika berubah dengan senyum yang mengulas di bibir keriputnya
memperlihatkan gigi ompongnya yang kecokelatan, seolah aku ini tamu yang selalu
dinanti kehadiranya setiap hari.
“Ternyata kamu, Pus, bikin Mbah
jantungan saja,” katanya sambil mengurut dada, sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Aku hanya tersenyum geli dengan panggilan yang
diberikan si Mbah, “Pus”. Tapi aku senang dengan panggilan si Mbah, setidaknya
teman-temanku tidak lagi mengejekku dengan memanggilku “anak kampang”.
Sejak kecil aku tak punya nama, juga tak
punya orang tua. Aku sendirian di kolong jembatan kampung. Kata
teman-temanku yang mendapat cerita dari orang tua mereka, setelah melahirkanku,
ibuku ditangkap warga dan dibuang jauh karena ketahuan mencuri pepes dari rumah
salah satu warga, bukan sengaja meninggalkanku.
“Dalam bangsa kita tak ada ibu yang
tega membuang anaknya,” begitulah kata mereka waktu itu.
Walaupun kami tak punya akal, tapi
masih ada perasaan, itulah anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada
kami. Tapi ada juga “bangsa” yang berakal tapi perasaannya seolah sirna karena
nafsu yang menggerogotinya. Namun aku beruntung karena ada bangsa manusia yang
mau menjadi “orang tua angkat”-ku. Mereka memeliharaku, memberiku makan,
mengasih susu, sehingga aku besar seperti sekarang ini, walaupun tanpa belaian
kasih sayang.
Tapi semua itu ternyata tak gratis,
ada maksud lain mereka mengadopsiku, membesarkanku selama ini. Aku harus
menunggu lumbung padi hasil panen mereka dari serangan tikus. Setiap malam aku
menunggunya, jika tidak, aku tak akan dapat jatah “sarapan pagi”. Sesekali
kubiarkan juga beberapa ekor tikus melahab gabah sampai kenyang, bukankah
mereka juga perlu makan, sama seperti bangsa-bangsa yang lain. Yang membuat aku
terkejut, selama ini ternyata bukan tikus yang membuat gabah cepat berkurang,
ternyata anak “orang tua angkat”-ku sendiri yang mengambilnya diam-diam,
saat semuanya terlelap dipelukkan malam, dihinggapi dingin yang merayapi tubuh,
membeku dalam gumpalan selimut.
Suatu malam aku memergokinya. Ia
menatapku tajam, seolah mengancam. Beberapa belit sudah dimasukkannya ke
dalam karung, aku mencoba berteriak-teriak memberitahukan “orang tua angkat”-ku
agar mereka bangun.
“Maliiiing....! Maliiiiiing....!”
sekeras-kerasnya. Tapi tidak ada yang peduli. cuma hardikan dan bentakan yang
menyakitkan hati yang kudapat.
“Brisiiiiiiiiik. Dasar kucing
bodoh!”
Aku tak lagi berteriak. Takut jadi
sasaran sapu ijuk yang melayang. Ia tersenyum sinis padaku, sudut bibir
kanannya terangkat sedikit, seolah-olah mengejek, menertawakan usahaku yang
sia-sia. Dia melenggang dengan santainya berlalu dari hadapanku sambil memikul
karung yang penuh gabah. Baginya aku hanya saksi bisu yang tak perlu ditakuti.
Sebelum berlalu sekali lagi ia menatapku.
“Ha ha....Dasar kucing bodoh!”
Aku hanya bisa menggeram marah.
Mematung. Paginya aku kena marah dan pukul. Bagi mereka aku tak becus,
membiarkan tikus-tikus menjarah padinya. Apakah mereka tak berpikir? Bagaimana
mungkin tikus-tikus menghabiskan banyak gabah dalam semalam? Kenapa setiap ada
kerusakan atau kehilangan selalu bangsa kami yang disalahkan? Apakah mereka
tidak tahu? Atau pura-pura tidak tahu? Atau tidak mau tahu? Tangan-tangan
manusia sendiri yang membuat kehancuran dan kerusakan dimukan bumi ini.
Tidakkah mereka melihat hutan-hutan yang merana, gunung-gunung menangis, bangsa
kami terusir dari tempat kelahirannya, ke sana ke mari mencari tempat tinggal.
Ah ,aku tak habis pikir bagaimana jalan pikiran manusia?
“Pus....” suara Mbah memudarkan
lamunanku. Aku menoleh ke arahnya. Oh, kasihan sekali Mbah. Keringat membanjir
dari tubuh keriputnya menembus kebaya lusuh yang dia kenakan. Mbah mendekat.
Membelai buluku. Sungguh aku sangat bahagia merasakan kasih sayangnya, yang
selama ini tak pernah aku rasakan.
“Sebentar ya, Pus...” Mbah beranjak
ke dalam gubuk. Tertatih-tatih membawa tubuhnya yang mulai membungkuk. Mbah
keluar lagi membawa sepiring nasi dan sekor ikan puyau di atasnya, mungkin
didapatnya dari memasang bubu ikan di kali.
“Makan, Pus. Mbah tahu pasti Pus
belum makan,” kata Mbah menyodorkannya di hadapanku. Mbah seperti bisa membaca
pikiranku. Seperti yang ia katakan, aku belum makan, tak dapat jatah, karena
tadi malam aku gagal lagi mengusir “tikus” besar yang menjarah padi. Dia yang
menyeringai lebar berlalu di hadapan.
“Makan, Pus!” Mbah mengulangi lagi
perkataaanya sambil terus membelaiku. Aku langsung melahapnya, perutku sudah
sangat lapar. Mbah tersenyum. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang belum
selesai menampi dengan nyiru untuk memisahkan kulit gabah dengan beras yang
sudah selesai ditumbuk. Walaupun cuma nasi putih dan seekor lauk ikan yang
dibakar, bagiku sangat lezat, karena diberikan dengan hati yang ikhlas dan
tulus. Mungkin itulah satu tanda makanan yang kumakan penuh berkah. Sambil
makan aku menoleh ke arah Mbah. Mbah sesekali menyeka keringatnya dengan lengan
kebayanya.
Kasihan sekali Mbah. Di masa
tuanya harus sendiri dalam keterasingan. Bertahan hidup dengan tenaga tuanya.
Hanya dari berjualan kayu bakar yang didapatnya dari hutan untuk memenuhi
kebutuhan.
Ah, sungguh kasihan. Aku heran,
kenapa anak si Mbah meninggalkannya merantau di hari senjanya. Apakah dia tidak
kasihan membiar si Mbah hidup sendiri sedangkan dia pergi merantau, dan tidak
pernah kembali. Apakah tidak terkenang sedikitpun akan wajah tua si Mbah. Aku
pernah mendengar pengajian di surau bahwa surga di bawah telapak kaki ibu.
Apakah ia tak tahu semua itu? Mbah tidak punya teman untuk berbagi, bahkan
bercerita. Apakah mereka juga tak berpikir, suatu hari nanti mereka akan tua,
di situ akan terasa kehadiran seorang anak sangat diharapkan. Ah, sekali lagi
aku tak bisa menerka jalan pikiran manusia.
Hanya aku yang sering ke gubuknya,
orang-orang tak ada yang mau menjenguknya, bahkan sekadar lewat. Setiap aku
datang ke mari, terlihat wajahnya bahagia. Aku juga bahagia melihatnya
tersenyum.
Sentuhan lembut Mbah kembali
menyadarkanku. Rupanya Mbah sudah selesai dari pekerjaan. Wajahnya kuyu karena
kelelahan, sinar matanya redup seolah sebentar lagi akan padam tertiup angin
kehidupan. Mbah mengangkatku ke pangkuannya, dibelainya buluku yang halus. Mbah
mendesah. Matanya memandang jauh ke pepohanan hijau berjajar rapi, seperti
tentara kavaleri. Sapaan angin membuat dedaunan menari ke kiri dan ke kanan.
Membuat bunyi kecepak.
“Pus, mau kan tinggal sama Mbah?”
pinta Mbah tiba-tiba. Tangan keriputnya masih terus membelaiku. Aku dapat
merasakan bahwa permintaan Mbah lahir dari lubuk hatinya. Aku senang sekali
mbah mengajakku tinggal bersamanya, walaupun jauh dari keramaian, aku merasa
tenang di sini.
“Mau kan, Pus?” tanya Mbah sekali
lagi. Aku hanya mengangguk seraya menjilat tangannya dengan lidahku. Tanda
mengiyakan. Mbah memelukku erat, matanya tampak berbinar bahagia. Aku dapat
merasakan kebahagiaannya dari getar degup jantungnya. Mungkin baginya aku
pengganti anaknya yang tak pernah kembali. Belaian kasih sayang yang tak
kudapatkan dari ibu kini kudapatkan pada Mbah.
Kebahagiaan kami terusik, saat
kudengar suara teriakan mendekat ke arah kami.
“Itu gubuknya! Kita bakar! Kita
bakar!” teriak salah seorang yang membawa obor di tangannya. Aku terperanjat.
Belasan orang berwajah marah mendekat, kenapa tiba-tiba mereka mau membakar
gubuk si Mbah? Apa salah si Mbah? Si Mbah tak kalah terkejutnya, mukanya
mendadak pucat, menyirnakan semburat bahagia yang tadi tergambar diwajah
tuanya. Mereka semakin mendekat. Mbah memelukku semakin erat. Kaki mereka
menyibak rumbut dan ilalang dengan angkuh.
Mbah bangkit dari duduknya menuju
pekarangan rumah dan terus menggendongku “Ada apa ini? Ada apa?” tanya Mbah
bingung, mengapa tiba-tiba orang kampung ingin membakar rumahnya. Aku terkejut,
di antara orang-orang itu ada “orang tua angkatku”. Apakah dia yang mengerahkan
warga? Ah, aku tak tahu jawabannya.
“Ah, dasar wanita tua. Jangan
berpura-pura. Kamu kan yang mencuri padi-padiku di lumbung!” tuduh orang
tua angkatku dengan kasar. Kumisnya yang tebal bergerak-gerak karena guncangan
tubuhnya, membuat suasana semakin ngeri.
“Tapi.... tapi aku tak pernah
mencuri.” Mbah membela diri, walaupun suaranya tak sekeras orang yang berdiri
angkuh dihadapannya.
“Ah, sudah kita bakar saja gubuknya.
Dia yang mencurinya, Ayah!” kata seorang lelaki di belakang barisan. Aku
mengenal suara itu. Suara anak “orang tua angkat”-ku. Kenapa dia menuduh Mbah
yang mencuri gabah ayahnya? Padahal aku tahu dia sendiri yang melakukannya.
Kenapa dia memfitnah Mbah? Aku tak bisa membela Mbah mengatakan yang
sebenarnya. Mereka tak akan mendengarku.
“Iya bakar saja !” teriak seorang
lelaki seraya melempar obornya ke atas atas gubuk. Seketika api membesar,
melahap daun atap kering dengan sombongnya, hembusan angin membuatnya semakin
angkuh. Meliuk-liuk seirama angin yang bertiup. Asap hitam membumbung ke udara,
membentuk gumpalan-gumpalan pekat.
“Jangan...jangan bakar gubukku!”
jerit Mbah. Aku terlepas dari pelukannya. Mbah memcoba mencegah orang-orang
yang terus melempari gubuknya dengan obor. Namun apa daya, Mbah malah
terpelanting terkena dorongan orang-orang yang sudah tersulut emosi karena
termakan fitnah.
“Dasar wanita tua sialan! Sudah tua
masih mencuri. Rasakan ini akibatnya!” “Orang tua angkat”-ku meradang, tak peduli
si Mbah yang mengiba bersimpuh di hadapannya.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya
bisa memandang si jago merah melahap gubuk si Mbah. Kulihat anak “orang tua
angkat”-ku menyeringai lebar. Wajahnya berbinar. Puas, karena berhasil
mengalihkan kesalahannya pada si Mbah yang tak tahu apa-apa. Mbah terus
menjerit memohon dan mengiba, tak ada yang peduli.
Kasihan sekali Mbah. Cobaan datang
silih berganti. Seandainya anaknya ada di sini, pasti dia bisa melindungi si
Mbah. Mungkin ini semua tak perlu terjadi. Ah, memang tak pernah ada yang tahu
seperti apa skenario kehidupan yang ditulis-Nya. Suara kemarahan terus
membahana berbanding terbalik dengan si Mbah yang terus mengucurkan air mata.
Aku ingin mendekat pada Mbah untuk memberinya kekuatan agar bersabar.
Aagggggggghhhhh! Sebuah cengkeraman
melilit dileherku. Tubuhku terangkat ke udara. Sebuah wajah tampak besar
dihadapanku. Kumisnya yang melintang tampak bergerak-gerak bagai tikus.
Cengkeramannya semakin kuat, seolah ingin mencekikku leherku sampai putus. Aku
hanya bisa berteriak kesakitan.
“Dasar kucing sialan. Rupanya kamu
ada di sini!” seru “orang tua angkat”-ku geram.
Aku dibanting ke tanah dengan keras.
Seketika rasa sakit menjelma di sekujur tubuhku. Tulangku terasa patah.
Pandanganku buram berkunang-kunang. Masih sempat kudengar suara tangis Mbah
yang menyayat hati sebelum semuanya gelap.
Barabai, 17 Mei 2010
0 komentar:
Post a Comment