Tuesday, March 26, 2013

Aku dan Wanita Tua


Penulis: Muhammad Saleh

(Dimuat di Annida Online, 25 Mei 2010)



Kususuri jalan setapak yang agak menurun dari tebing dengan langkah kecilku. Kerikil-kerikil terasa menusuk telapak kakiku. Sisa-sisa embun masih memeluk erat pada sang debu yang tak mengizinkannya untuk terbang mengembara tak tentu arah. Di sisi kanan dan kiri penuh dengan rerumputan liar menjalar dan ilalang serta pohon beringin yang menjulang tinggi, akar-akarnya bertonjolan laksana tangan hantu. Daun-daunnya kering berserakan menutupi jalan, kadang-kadang tersingkap terbang ditiup angin yang menyapa.
Di  depanku tampak sebuah gubuk tua reyot badannya sudah agak condong ke kiri. Dindingnya hanya dari anyaman-anyaman bambu, atapnya dari hambitan daun rumbia tua berlapis-lapis, di teras gubuk yang cuma beralaskan tanah dibuat sebuah dipan kecil dari bambu untuk duduk dan beristirahat. Dari tempat aku berdiri terdengar jelas dari gubuk itu suara halu yang beradu dengan lesungnya. “Duk....duk....duk..!”
Menjadi irama yang mengalun dengan tempo yang sama, seperti menambah alunan semarak kicau burung pipit bermain riang. Kulanjutkan langkahku yang sudah mulai lelah, aku sudah berjalan cukup jauh dari pemukiman rumah penduduk ke ujung jalan ini. Gubuk tua ini memang dibangun agak jauh dari rumah penduduk, entah kenapa. Aku juga tak tahu. Tempat ini sungguh asing.
Teman-temanku tidak ada yang mau bermain ke  tempat ini. Takut menjadi mangsa binatang buas. Mereka lebih suka bermain di dekat rumah-rumah penduduk, katanya lebih aman, walaupun kadang-kadang mereka juga kena marah dan  lemparan sandal. Sebenarnya aku juga takut, tapi aku sudah terbiasa bermain ditempat ini, lama kelamaan tak ada lagi rasa takut.
Kuhela nafasku sebentar. Udara sejuk menyeruak memenuhi rongga pernafasanku. Aku sudah berada tepat di depan gubuk tua ini. Seperti hari-hari biasa di setiap pagi kulihat seorang wanita tua sedang berjuang mengerahkan tenaga ringkihnya menumbuk gabah menjadi beras, untuk dimasak siang nanti.
Aku terus mendekat padanya, sepertinya ia belum menyadari kedatanganku. Aku berjalan pelan dan melompat ke atas dipan bambu. Bukan sengaja untuk mengngagetkannya. Tapi, wanita tua itu kaget mendengar gebrakan tubuhku dengan bambu bagai pohon pisang menimpa tanah. Kekagetannya seketika berubah dengan senyum yang mengulas di bibir keriputnya memperlihatkan gigi ompongnya yang kecokelatan, seolah aku ini tamu yang selalu dinanti kehadiranya setiap hari.
“Ternyata kamu, Pus, bikin Mbah jantungan saja,” katanya sambil mengurut dada, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
 Aku hanya tersenyum geli dengan panggilan yang diberikan si Mbah, “Pus”. Tapi aku senang dengan panggilan si Mbah, setidaknya teman-temanku tidak lagi mengejekku dengan memanggilku “anak kampang”.
 Sejak kecil aku tak punya nama, juga tak punya  orang tua. Aku sendirian di  kolong jembatan kampung. Kata teman-temanku yang mendapat cerita dari orang tua mereka, setelah melahirkanku, ibuku ditangkap warga dan dibuang jauh karena ketahuan mencuri pepes dari rumah salah satu warga, bukan sengaja meninggalkanku.
“Dalam bangsa kita tak ada ibu yang tega membuang anaknya,” begitulah kata mereka waktu itu.
Walaupun kami tak punya akal, tapi masih ada perasaan, itulah anugerah terindah  yang diberikan Tuhan kepada kami. Tapi ada juga “bangsa” yang berakal tapi perasaannya seolah sirna karena nafsu yang menggerogotinya. Namun aku beruntung karena ada bangsa manusia yang mau menjadi “orang tua angkat”-ku. Mereka  memeliharaku, memberiku makan, mengasih susu, sehingga aku besar seperti sekarang ini, walaupun tanpa belaian kasih sayang.
Tapi semua itu ternyata tak gratis, ada maksud lain mereka mengadopsiku, membesarkanku selama ini. Aku harus menunggu lumbung padi hasil panen mereka dari serangan tikus. Setiap malam aku menunggunya, jika tidak, aku tak akan dapat jatah “sarapan pagi”. Sesekali kubiarkan juga beberapa ekor tikus melahab gabah sampai kenyang, bukankah  mereka juga perlu makan, sama seperti bangsa-bangsa yang lain. Yang membuat aku terkejut, selama ini ternyata bukan tikus yang membuat gabah cepat berkurang, ternyata anak “orang tua angkat”-ku sendiri  yang mengambilnya diam-diam, saat semuanya terlelap dipelukkan malam, dihinggapi dingin yang merayapi tubuh, membeku dalam gumpalan selimut.
Suatu malam aku memergokinya. Ia menatapku tajam, seolah mengancam. Beberapa belit sudah dimasukkannya ke  dalam karung, aku mencoba berteriak-teriak memberitahukan “orang tua angkat”-ku agar mereka bangun.
“Maliiiing....! Maliiiiiing....!” sekeras-kerasnya. Tapi tidak ada yang peduli. cuma hardikan dan bentakan yang menyakitkan hati yang kudapat.
“Brisiiiiiiiiik. Dasar  kucing bodoh!”
Aku tak lagi berteriak. Takut jadi sasaran sapu ijuk yang melayang. Ia tersenyum sinis padaku, sudut bibir kanannya terangkat sedikit, seolah-olah mengejek, menertawakan usahaku yang sia-sia. Dia melenggang dengan santainya berlalu dari hadapanku sambil memikul karung yang penuh gabah. Baginya aku hanya saksi bisu yang tak perlu ditakuti. Sebelum berlalu sekali lagi ia menatapku.
“Ha ha....Dasar kucing bodoh!”
Aku hanya bisa menggeram marah. Mematung. Paginya aku  kena marah dan pukul. Bagi mereka aku tak becus, membiarkan tikus-tikus menjarah padinya. Apakah mereka tak berpikir? Bagaimana mungkin tikus-tikus menghabiskan banyak gabah dalam semalam? Kenapa setiap ada kerusakan atau kehilangan selalu bangsa kami yang disalahkan? Apakah mereka tidak tahu? Atau pura-pura tidak tahu? Atau tidak mau tahu? Tangan-tangan manusia sendiri yang membuat kehancuran dan kerusakan dimukan bumi ini. Tidakkah mereka melihat hutan-hutan yang merana, gunung-gunung menangis, bangsa kami terusir dari tempat kelahirannya, ke sana ke mari mencari tempat tinggal. Ah ,aku tak habis pikir bagaimana jalan pikiran manusia?
“Pus....” suara Mbah memudarkan lamunanku. Aku menoleh ke arahnya. Oh, kasihan sekali Mbah. Keringat membanjir dari tubuh keriputnya menembus kebaya lusuh yang dia kenakan. Mbah mendekat. Membelai buluku. Sungguh aku sangat bahagia merasakan kasih sayangnya, yang selama ini tak pernah aku rasakan.
“Sebentar ya, Pus...” Mbah beranjak ke dalam gubuk. Tertatih-tatih membawa tubuhnya yang mulai membungkuk. Mbah keluar lagi membawa sepiring nasi dan sekor ikan puyau di atasnya, mungkin didapatnya dari memasang bubu ikan di kali.
“Makan, Pus. Mbah tahu pasti Pus belum makan,” kata Mbah menyodorkannya di hadapanku. Mbah seperti bisa membaca pikiranku. Seperti yang ia katakan, aku belum makan, tak dapat jatah, karena tadi malam aku gagal lagi mengusir “tikus” besar yang menjarah padi. Dia yang menyeringai lebar berlalu di hadapan.
“Makan, Pus!” Mbah mengulangi lagi perkataaanya sambil terus membelaiku. Aku langsung melahapnya, perutku sudah sangat lapar. Mbah tersenyum. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai menampi dengan nyiru untuk memisahkan kulit gabah dengan beras yang sudah selesai ditumbuk. Walaupun cuma nasi putih dan seekor lauk ikan yang dibakar, bagiku sangat lezat, karena diberikan dengan hati yang ikhlas dan tulus. Mungkin itulah satu tanda makanan yang kumakan penuh berkah. Sambil makan aku menoleh ke arah Mbah. Mbah sesekali menyeka keringatnya dengan lengan kebayanya.
Kasihan sekali Mbah. Di  masa tuanya harus sendiri dalam keterasingan. Bertahan hidup dengan tenaga tuanya. Hanya dari berjualan kayu bakar yang didapatnya dari hutan untuk memenuhi kebutuhan.
Ah, sungguh kasihan. Aku heran, kenapa anak si Mbah meninggalkannya merantau di hari senjanya. Apakah dia tidak kasihan membiar si Mbah hidup sendiri sedangkan dia pergi merantau, dan tidak pernah kembali. Apakah tidak terkenang sedikitpun akan wajah tua si Mbah. Aku pernah mendengar pengajian di surau bahwa surga di bawah telapak kaki ibu. Apakah ia tak tahu semua itu? Mbah tidak punya teman untuk berbagi, bahkan bercerita. Apakah mereka juga tak berpikir, suatu hari nanti mereka akan tua, di situ akan terasa kehadiran seorang anak sangat diharapkan. Ah, sekali lagi aku tak bisa menerka jalan pikiran manusia.
Hanya aku yang sering ke gubuknya, orang-orang tak ada yang mau menjenguknya, bahkan sekadar lewat. Setiap aku datang ke mari, terlihat wajahnya bahagia. Aku juga bahagia melihatnya tersenyum.
Sentuhan lembut Mbah kembali menyadarkanku. Rupanya Mbah sudah selesai dari pekerjaan. Wajahnya kuyu karena kelelahan, sinar matanya redup seolah sebentar lagi akan padam tertiup angin kehidupan. Mbah mengangkatku ke pangkuannya, dibelainya buluku yang halus. Mbah mendesah. Matanya memandang jauh ke pepohanan hijau berjajar rapi, seperti tentara kavaleri. Sapaan angin membuat dedaunan menari ke kiri dan ke kanan. Membuat bunyi kecepak.
“Pus, mau kan tinggal sama Mbah?” pinta Mbah tiba-tiba. Tangan keriputnya masih terus membelaiku. Aku dapat merasakan bahwa permintaan Mbah lahir dari lubuk hatinya. Aku senang sekali mbah mengajakku tinggal bersamanya, walaupun jauh dari keramaian, aku merasa tenang di sini.
“Mau kan, Pus?” tanya Mbah sekali lagi. Aku hanya mengangguk seraya menjilat tangannya dengan lidahku. Tanda mengiyakan. Mbah memelukku erat, matanya tampak berbinar bahagia. Aku dapat merasakan kebahagiaannya dari getar degup jantungnya. Mungkin baginya aku pengganti anaknya yang tak pernah kembali. Belaian kasih sayang yang tak kudapatkan dari ibu kini kudapatkan pada Mbah.
Kebahagiaan kami terusik, saat kudengar suara teriakan mendekat ke arah kami.
“Itu gubuknya! Kita bakar! Kita bakar!” teriak salah seorang yang membawa obor di tangannya. Aku terperanjat. Belasan orang berwajah marah mendekat, kenapa tiba-tiba mereka mau membakar gubuk si Mbah? Apa salah si Mbah? Si Mbah tak kalah terkejutnya, mukanya mendadak pucat, menyirnakan semburat bahagia yang tadi tergambar diwajah tuanya. Mereka semakin mendekat. Mbah memelukku semakin erat. Kaki mereka menyibak rumbut dan ilalang dengan angkuh.
Mbah bangkit dari duduknya menuju pekarangan rumah dan terus menggendongku “Ada apa ini? Ada apa?” tanya Mbah bingung, mengapa tiba-tiba orang kampung ingin membakar rumahnya. Aku terkejut, di antara orang-orang itu ada “orang tua angkatku”. Apakah dia yang mengerahkan warga? Ah, aku tak tahu jawabannya.
“Ah, dasar wanita tua. Jangan berpura-pura. Kamu kan yang mencuri padi-padiku di lumbung!”  tuduh orang tua angkatku dengan kasar. Kumisnya yang tebal bergerak-gerak karena guncangan tubuhnya, membuat suasana semakin ngeri.
“Tapi.... tapi aku tak pernah mencuri.” Mbah membela diri, walaupun suaranya tak sekeras orang yang berdiri angkuh dihadapannya.
“Ah, sudah kita bakar saja gubuknya. Dia yang mencurinya, Ayah!” kata seorang lelaki di belakang barisan. Aku mengenal suara itu. Suara anak “orang tua angkat”-ku. Kenapa dia menuduh Mbah yang mencuri gabah ayahnya? Padahal aku tahu dia sendiri yang melakukannya. Kenapa dia memfitnah Mbah? Aku tak bisa membela Mbah mengatakan yang sebenarnya. Mereka tak akan mendengarku.
“Iya bakar saja !” teriak seorang lelaki seraya melempar obornya ke atas atas gubuk. Seketika api membesar, melahap daun atap kering dengan sombongnya, hembusan angin membuatnya semakin angkuh. Meliuk-liuk seirama angin yang bertiup. Asap hitam membumbung ke udara, membentuk gumpalan-gumpalan pekat.
“Jangan...jangan bakar gubukku!” jerit Mbah. Aku terlepas dari pelukannya. Mbah memcoba mencegah orang-orang yang terus melempari gubuknya dengan obor. Namun apa daya, Mbah malah terpelanting terkena dorongan orang-orang yang sudah tersulut emosi karena termakan fitnah.
“Dasar wanita tua sialan! Sudah tua masih mencuri. Rasakan ini akibatnya!” “Orang tua angkat”-ku meradang, tak peduli si Mbah yang mengiba bersimpuh di hadapannya.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa memandang si jago merah melahap gubuk si Mbah. Kulihat anak “orang tua angkat”-ku menyeringai lebar. Wajahnya berbinar. Puas, karena berhasil mengalihkan kesalahannya pada si Mbah yang tak tahu apa-apa. Mbah terus menjerit memohon dan mengiba, tak ada yang peduli.
Kasihan sekali Mbah. Cobaan datang silih berganti. Seandainya anaknya ada di sini, pasti dia bisa melindungi si Mbah. Mungkin ini semua tak perlu terjadi. Ah, memang tak pernah ada yang tahu seperti apa skenario kehidupan yang ditulis-Nya. Suara kemarahan terus membahana berbanding terbalik dengan si Mbah yang terus mengucurkan air mata. Aku ingin mendekat pada Mbah untuk memberinya kekuatan agar bersabar.
Aagggggggghhhhh! Sebuah cengkeraman melilit dileherku. Tubuhku terangkat ke udara. Sebuah wajah tampak besar dihadapanku. Kumisnya yang melintang tampak bergerak-gerak bagai tikus. Cengkeramannya semakin kuat, seolah ingin mencekikku leherku sampai putus. Aku hanya bisa berteriak kesakitan.
“Dasar kucing sialan. Rupanya kamu ada di sini!” seru “orang tua angkat”-ku geram.
Aku dibanting ke tanah dengan keras. Seketika rasa sakit menjelma di sekujur tubuhku. Tulangku terasa patah. Pandanganku buram berkunang-kunang. Masih sempat kudengar suara tangis Mbah yang menyayat hati sebelum semuanya gelap. 
Barabai, 17 Mei 2010

Aku dan Wanita Tua Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Saleh Khana

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.